REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Kamran Dikarma
Amnesty International mencabut penghargaan Ambassador of Conscience atau Duta Besar Hati Nurani yang pernah diberikan kepada Aung San Suu Kyi pada 2009. Pemimpin de facto Myanmar itu dinilai tak lagi pantas menyandang gelar tersebut karena sikap tak acuhnya atas penindasan yang dialami etnis Rohingya.
Sekretaris Jenderal Amnesty International Kumi Naidoo telah mengirimkan surat mengenai pencabutan penghargaan tersebut kepada Suu Kyi pada Ahad (11/11). Dalam suratnya, seperti dikutip dari laman resmi Amnesty International, Selasa (13/11), Naidoo mengekspresikan kekecewaan Amnesty International terhadap Suu Kyi. Suu Kyi yang telah mencapai separuh dari masa jabatannya, tak menggunakan otoritas politik dan moralnya untuk menjaga HAM, menegakkan keadilan, dan kesetaraan.
Suu Kyi justru menutup mata atas kekejaman militer Myanmar dan meningkatnya kekangan terhadap kebebasan berekspresi di Myanmar. Naidoo mengatakan, Amnesty International sebelumnya sangat berharap Suu Kyi dapat melanjutkan perjuangannya untuk menentang ketidakadilan di manapun, termasuk di Myanmar.
“Hari ini kami sangat kecewa menyampaikan bahwa Anda tidak lagi mewakili simbol harapan, keberanian, dan pejuang hak asasi manusia," kata Naidoo.
Amnesty International, dia menegaskan, tak mempunyai alasan untuk tetap mempertahankan gelar Ambassador of Conscience yang disandang Suu Kyi. "Oleh karena itu, dengan sangat sedih kami menariknya dari Anda,” ujar Kumi.
Amnesty International bukanlah satu-satunya organisasi yang mencabut penghargaan kemanusiaan Suu Kyi. Sejumlah lembaga hingga pemerintah kota suatu negara yang pernah memberikan penghargaan serupa, sudah terlebih dahulu mencabutnya.
Suu Kyi pernah mendapat penghargaan Elie Wiesel Award pada 2012 oleh Museum Holocaust pada 2012. Penghargaan ini diberikan kepada tokoh yang dinilai aktif melawan kebencian, genosida, dan memperjuangkan HAM. Penghargaan ini dicabut pada Maret 2018. Penghargaan sejenis untuk Suu Kyi dari Pemerintah Kota Edinburgh, Glasgow, dan Newcastle, juga sudah ditarik.
Sebelum memimpin Myanmar, Suu Kyi sangat aktif menentang pemerintahan junta Myanmar. Tindakannya itulah yang membuat ia pernah mendapat hukuman tahanan rumah selama 15 tahun.
Namun, setelah menjadi pemimpin de facto pemerintahan sipil Myanmar pada April 2016, pemerintahannya membiarkan terjadinya pelanggaran HAM yang terus berulang.
Amnesty International telah berkali-kali mengkritisi kegagalan Suu Kyi dan pemerintahannya dalam menentang kejahatan militer Myanmar terhadap etnis minoritas Rohingya di negara bagian Rakhine. Pada saat kekejaman terhadap warga Rohingya berlangsung tahun lalu, militer Myanmar membunuh ribuan, memperkosa wanita dan anak perempuan, menahan dan menyiksa laki-laki dewasa dan anak-anak, serta membakar ratusan rumah dan perkampungan sehingga rata dengan tanah.
Sebanyak 720 ribu warga Rohingya melarikan diri mencari perlindungan ke Bangladesh. Laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan agar pemimpin senior militer Myanmar diinvestigasi dan diadili atas kejahatan genosida di negara tersebut.
Walaupun pemerintahan sipil tidak mempunyai kontrol terhadap militer, Suu Kyi dan pemerintahannya telah melindungi militer dari pertanggungjawaban mereka dengan cara menutup mata atau membantah tuduhan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer. Selain itu, pemerintahan Suu Kyi telah menghalangi upaya komunitas internasional untuk menginvestigasi kasus tersebut.
“Kegagalan Aung San Suu Kyi untuk berbicara membela Rohingya adalah salah satu alasan mengapa kami tidak bisa lagi menjustifikasi untuk mempertahankan statusnya sebagai Ambassador of Conscience,” ujar Naidoo.
Penyangkalannya terhadap kekejaman kepada etnis Rohingya menunjukkan bahwa kecil peluang memperbaiki kondisi kehidupan ratusan ribu warga Rohingya yang telah hidup terkatung-katung di Bangladesh dan ratusan ribu Rohingya lainnya yang masih tinggal di Rakhine.
Tanpa memberikan pengakuan atas kejahatan yang keji tersebut, akan sulit untuk berharap Pemerintah Myanmar akan melindungi mereka dari kekejaman serupa pada masa mendatang.
Situasi di Myanmar semakin memburuk karena pemerintahan Suu Kyi juga membatasi akses bagi para pekerja kemanusiaan dan juga memperburuk penderitaan lebih dari 100 ribu orang yang telah telantar akibat pertempuran.