Rabu 31 Oct 2018 16:51 WIB

Tanpa MCNA, Arab Saudi Merasa tak Perlu Lapor Hukuman Mati

Sekarang ditunggu sikap dan tindakan apa yang akan diambil oleh pemerintah.

TKI, ilustrasi
Foto: Adi Lazuardi/Antara
TKI, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat mengatakan, memang dari dahulu Arab Saudi tak pernah memberi tahu bila akan melaksanakan hukuman mati kepada TKI asal Indonesia. Hal ini karena kedua negara tak terikat atau belum menandatangani perjanjian yang terkait tentang kewajiban melaporkan kepada negara asal bila ada warga negaranya melakukan tindak pidana di negara tempatan.

''Jadi, memang dari dulu tak ada laporan. Kedua belah pihak tak ada kewajiban hukum. Ini karena Indonesia dan Arab Suadi belum menandatangani perjanjian 'Mandatory Consular Notification Agreement' (MCNA). Hal yang sama juga terjadi antara Indonesia dan Malaysia. Jadi, memang tak ada aturan hukum yang mengikat antara kedua negara,'' kata Jumhur Hidayat, di Jakarta, Rabu (31/10).

Menurut Jumhur, konsekuensi juga terjadi sebaliknya. Bila ada warga negara Arab Saudi melakukan tindak pidana di Indonesia, tidak ada warga negaranya melakukan tindak pidana di sini. Jadi, Indonesia pun bisa bersikap sama dengan Arab Saudi. ''Soal ini beda dengan negara maju lain, Hong Kong, misalnya, selalu melaporkan setiap kali ada TKI melakukan perbuatan pidana di sana.''

''Untuk kasus hukuman mati kepada TKI bernama Tuti itu, sebenarnya kasusnya sudah lama. Berbagai usaha sudah dilakukan. Tapi, dia terkena hukuman berat karena terbukti di pengadilan melakukan pembunuhan dan pencurian uang majikannya sebesar 31 ribu riyal Arab Saudi. Tapi, Arab Saudi rupanya bergeming karena mereka anggap itu kedaulatan hukum negaranya. Hal yang sama ketika Indonesia dahulu tetap melaksanakan hukuman mati dalam kasus tindak pidana narkoba dari warga negara asing,'' ujarnya.

Hal yang penting, lanjut Jumhur, tindakan apa yang harus dilakukan pihak Indonesia untuk kasus hukuman mati TKI yang berada di Arab Saudi. Apalagi, ini penting karena masih ada sekitar 13 warga negara Indonesia terancam hukuman mati di negara itu.

''Jadi, kalau dulu kita langsung moratorium pengirim TKI ke Arab Saudi begitu ada pelaksanaan hukuman mati kepada pekerja Indonesia, nah sekarang apa yang harus dilakukan? Apakah kita akan memaksa Arab Saudi menandatangani perjanjian MCNA itu? Apakah hal lainnya, saya tidak tahu,'' katanya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyesalkan eksekusi mati terhadap tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia, Tuti Tursilawati, di Arab Saudi. Presiden mengatakan, Konsulat Jenderal Republik Indonesia tidak mendapat pemberitahuan awal tentang eksekusi itu.

"Kita sesalkan, itu tanpa notifikasi (pemberitahuan)," ujar Presiden Joko Widodo di Jakarta, Rabu (31/10).

Tuti Tursilawati dieksekusi oleh Pemerintah Arab Saudi pada 29 Oktober 2018 di Thaif, Arab Saudi, sebagai hukuman dalam kasus pembunuhan majikannya pada 2011 di Arab Saudi. Eksekusi itu dilakukan tanpa ada notifikasi kepada perwakilan Pemerintah Indonesia sebelumnya. Arab Saudi memang tidak menganut kewajiban memberikan notifikasi kepada keluarga atau pemerintah terpidana hukuman mati, tetapi pemberitahuan tersebut dianggap penting untuk mempersiapkan mental keluarga terpidana.

"Saya dapat informasikan bahwa ada tenaga kerja kita, itu Bu Tuti dieksekusi 29 Oktober karena kasus pembunuhan ayah majikan pada Mei 2010, dan seperti yang lalu, KJRI kita tidak mendapat pemberitahuan awal tentang akan dieksekusinya Ibu Tuti," ujarnya.

Berdasarkan data Migrant Care, setidaknya ada lima TKI di Arab Saudi yang dieksekusi mati tanpa pemberitahuan resmi kepada pemerintah, yaitu Zaini Misrin, Yanti Irianti, Ruyati, Siti Zaenab, dan Karni. "Kita sudah menelepon menteri luar negeri Arab Saudi untuk protes soal eksekusi itu. Saat ke sini minggu lalu sampaikan ke Menlu Arab soal ini, juga perlindungan TKI di Arab Saudi," ungkap Presiden.

Menurut Presiden, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sudah bertemu dengan Menlu Arab Saudi dan sudah memanggil Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia Osama Mohammed al-Shuaibi untuk menyampaikan protes karena tidak adanya notifikasi.

"Kemudian juga Kementerian Luar Negeri saya perintahkan untuk memberi fasilitas bagi keluarga Ibu Tuti Tursilawati untuk ke sana sebanyak tiga kali, sudah," kata Presiden menegaskan.

Presiden pun mengaku sudah menyampaikan soal ketiadaan notifikasi eksekusi mati tersebut langsung kepada Sri Baginda Raja Salman, Pangeran Muhammad bin Salman al-Saud, serta Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir berkali-kali. "Saya ulang-ulang terus, jangan dipikir kita ini tidak melakukan upaya politik. Menteri Luar Negeri juga sama. Kedutaan tiap hari lakukan hal yang sama," ujar Presiden.

Tuti Tursilawati dijatuhi hukuman mati pada 2011 atas dakwaan pembunuhan berencana terhadap ayah majikannya, Suud Mulhak al-Utaibi, pada 2010. Menurut keterangan yang diperoleh dari sang ibu yang sempat menemui Tuti di Arab Saudi pada April 2018, Tuti melakukan pembunuhan karena ayah majikannya melecehkan Tuti.

Meskipun kasus Tuti telah memiliki keputusan hukum tetap pada 2011, Pemerintah RI terus melakukan upaya untuk meringankan hukuman dengan pendampingan kekonsuleran sejak 2011, tiga kali penunjukan pengacara, tiga kali permohonan banding. Tidak berhenti sampai di situ, pemerintah juga telah dua kali mengajukan peninjauan kembali dan dua kali Presiden RI mengirimkan surat kepada Raja Saudi.

Namun, berbagai upaya tersebut tidak dapat meringankan hukuman yang dijatuhkan kepada Tuti, yakni mati mutlak (had gillah), artinya tidak bisa dimaafkan oleh siapa pun, baik oleh keluarga ahli waris korban maupun oleh raja, dan yang bisa memaafkan hanya Allah SWT. Saat ini, menurut data Migrant Care, ada 20 TKI di Arab Saudi yang terancam hukuman mati di mana dua di antaranya sudah berkekuatan hukum tetap.

Data BNP2TKI mengenai jumlah pengiriman uang dari Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke negara asalnya (remitansi) pada 2017 sampai periode November, tercatat mencapai sebesar 8.015.885.120,00 dolar AS Atau setara Rp 108.326.671.517.984,00. Data remitansi ini diperoleh dari kolaborasi antara BNP2TKI dan Bank Indonesia (Divisi Statistik Neraca Pembayaran Indonesia dan Posisi Investasi Internasional Indonesia).

Sedangkan, data remitansi tenaga kerja Indonesia (TKI) pada 2016 terbesar berasal dari Arab Saudi yang dicatat oleh BNP2TKI mencapai 2,78 miliar dolar AS atau sekitar Rp 36,9 triliun atau sekitar 31 persen dari total remitansi TKI. Jumlah ini mengalahkan remitansi TKI di Malaysia, Taiwan, maupun Hong Kong.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement