Sabtu 20 Oct 2018 23:47 WIB

Catatan Kritis Penegakan Hukum pada Masa Jokowi dari ICJR

Penegakan hukum pemerintah Jokowi-JK dinilai belum sesuai dengan Nawa Cita.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Andri Saubani
Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika memimpin sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Selasa (16/10/2018).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika memimpin sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Selasa (16/10/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memberi catatan penegakan hukum dalam perjalanan empat tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK). Direktur Eksekutif ICJR, Anggara mengungkapkan, pencapaian agenda reformasi kebijakan hukum yang dijalankan oleh pemerintahan Jokowi belum sesuai Nawacita.

Catatan ICJR pertama, terkait reformasi kebijakan pidana baik materil maupun hukum acara. Terkait hal ini, maka tidak dapat dipisahkan dari Rancangan KUHP (RKUHP). Keberpihakan RKUHP terhadap HAM, perlindungan anak, perempuan dan kelompok marjinal, pemberantasan korupsi, sampai dengan reformasi penegakan hukum masih cukup jauh.

Secara garis besar, RKUHP bersifat sangat kolonial dan khas pemerintahan otoriter. Hampir mayoritas pasal yang bersifat kolonial dalam KUHP buatan pemerintah kolonial belanda, masih diatur dalam RKUHP.

"Sedari awal pembahasan RKUHP tidak didahului dengan evaluasi dan harmonisasi semua ketentuan pidana yang ada. Alhasil pembahasan RKUHP dilakukan tanpa arah yang jelas," kata Anggara dalam keterangan pers, Sabtu (20/10).

Di sisi yang lain, menurutnya, reformasi hukum acara pidana jalan di tempat. Pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) masih belum tersentuh sama sekali. Dua Perppu terakhir yang dirancang oleh pemerintah dan telah disahkan DPR, yaitu Perppu terkait Perlindungan Anak dan Perppu Pemberantasan Terorisme.

Kedua, menurut ICJR, reformasi kebijakan sebagai upaya penghapusan hukuman mati di Indonesia sebagai negara yang menjunjung hak asasi manusia. Pemerintah Indonesia secara internasional menunjukkan sikap dualisme terhadap hukuman mati.

Melalui Kementerian Lluar Negeri penyelamatan warga negara Indonesia di luar negeri dari ancaman pidana mati sebagai sebuah keberhasilan. Namun, di dalam negeri tuntutan pidana mati masih terus terjadi, bahkan dalam beberapa kesempatan pemerintah seolah mendukung digunakannya pidana mati dengan berbagai alasan.

Ketiga, terkait situasi kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kebebasan berpendapat dan berekspresi masih dalam ancaman. UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No 11 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak membawa angin segar bagi upaya perlindungan terhadap kebebasan berpendapat di ranah internet.

"Penggunaan pasal makar juga justru menyasar kepada ekspresi politik," ujarnya.

Jaminan perlindungan hak atas kebebasan berserikat dan berorganisasi justru dicederai dengan lahirnya UU No. 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat (ormas). Ditambah lagi, terdapat ketentuan-ketentuan yang akan mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam RKUHP yang saat ini sedang dibahas di DPR.

ICJR berharap pemerintahan Jokowi harus terlebih dahulu melakukan evaluasi terkait kebijakan hukum pidana. Menghapus hukuman mati, seperti peninjauan terhadap kasus-kasus terpidana mati.

Pemerintahan perlu mengevaluasi pasal-pasal yang dapat mengekang kebebasan warga negara dalam berekspresi dan berpendapat baik di dalam UU sektoral. KUHP agar dapat segera direvisi ataupun Pemerintah segera menarik pasal-pasal yang mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam RKUHP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement