Kamis 01 Jun 2023 20:59 WIB

ICJR: Pemahaman Kapolda Sulteng Soal Kekerasan Seksual Anak tak Sesuai Perkembangan Hukum

ICJR meminta kepolisian memahami diskursus perlindungan anak di Indonesia.

Rep: Zainur Mashir Ramadhan/ Red: Andri Saubani
Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Pol Agus Nugroho (kanan) saat rilis kasus kejahatan terhadap anak di Mapolda Sulawesi Tengah di Palu, Rabu (31/5/2023).  Polisi mengungkap kasus tindak asusila terhadap anak di bawah umur dan menetapkan 10 tersangka diantaranya oknum guru, seorang kepala desa dan mahasiswa, serta memeriksa satu oknum polisi yang diduga ikut terlibat.
Foto: ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah
Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Pol Agus Nugroho (kanan) saat rilis kasus kejahatan terhadap anak di Mapolda Sulawesi Tengah di Palu, Rabu (31/5/2023). Polisi mengungkap kasus tindak asusila terhadap anak di bawah umur dan menetapkan 10 tersangka diantaranya oknum guru, seorang kepala desa dan mahasiswa, serta memeriksa satu oknum polisi yang diduga ikut terlibat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, menyoroti permintaan Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) Irjen Pol Agus Nugroho soal kekerasan seksual anak usia 15 tahun di Parigi Moutong (Parimo) tidak disebut pemerkosaan atau rudapaksa melainkan persetubuhan. Menurut dia, pernyataan polisi itu sangat destruktif bagi pembaruan politik hukum di Indonesia.

“Dan pernyataan ini menunjukkan pemahaman hukum yang parsial, tidak komprehensif, dan tidak sesuai dengan perkembangan komitmen hukum di Indonesia tentang kekerasan seksual, yang telah diperbarui,” kata Maidina dalam keterangannya di Jakarta kepada Republika, Kamis (1/6/2023).

Baca Juga

Menurut dia, dalam UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan juga dengan adanya UU No 23 tahun 2002, tidak menjelaskan narasi polisi bahwa iming-iming dalam kekerasan seksual itu menurunkannya menjadi "persetubuhan". Sebaliknya, kata dia, sekalipun ada iming-iming, bujuk rayu, perbuatan itu tetap kekerasan seksual.

“Bahkan, level kejahatannya lebih berat. Dalam UU Perlindungan Anak pengaturan ini memberikan degree atau level kejahatan persetubuhan kepada anak menjadi lebih berat, sekalipun dilakukan dengan tipu muslihat,” ujar dia.

Sebab itu, dia meminta agar pihak kepolisian memahami diskursus perlindungan anak, bahwa setiap bentuk persetubuhan terhadap anak adalah perkosaan yang mutlak atau statutory rape. Menurutnya, polisi juga harus memahami perkembangan politik hukum yang ada di Indonesia.

“Sama sekali tidak sulit memahami ini dan berempati pada korban anak,” tutur dia.

ICJR, kata dia, menyerukan agar polisi mempelajarai perkembangan pengaturan kekerasan seksual di Indonesia. Lebih jauh, narasi polisi yang menyalahkan korban, disebutnya juga sangat keliru, sehingga pimpinan polisi diminta mengambil sikap dan teguran atau sanksi yang lebih berat.

“Ketiga, pendidikan gender harus masuk dan dipahami oleh polisi yang mayoritas laki-laki dan cenderung lekat dengan maskulinitas. Terakhir, Keempat, Pendidikan di level kepolisian harus direformasi, munculnya pernyataan dari kepolisian di level setinggi Kapolda menunjukkan adanya masalah dalam pemahaman hukum,” kata dia.

Sebelumnya, Kapolda Sulteng Irjen Agus Nugroho yang memilih diksi persetubuhan anak di bawah umur, ihwal pemerkosaan atau rudapaksa terhadap anak. Dia meminta istilah pemerkosaan tidak lagi digunakan karena pihaknya yang tidak menggunakan istilah tersebut.

“Kita minta tidak menggunakan istilah pemerkosaan atau rudapaksa, melainkan persetubuhan anak di bawah umur,” kata Agus.

Dalam konferensi pers kemarin, Kamis (31/5/2023) Agus menduga, jika kekerasan seksual yang dilakukan 11 orang terhadap anak berusia 15 tahun itu tidak dilakukan bersama-sama. Menurut dia, kasus yang ada terjadi sejak April 2022 hingga Januari 2023.

"Dan dilakukan di tempat yang berbeda-beda dalam waktu berbeda-beda. Dilakukan secara berdiri sendiri, dan tidak bersamaan oleh 11 pelaku ini," katanya.

Sebelumnya, Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait juga menyoroti kasus kekerasan seksual massal di Parigi  Moutong. Bahkan pelaku diduga ada yang berstatus sebagai anggota Brimob inisial HST dan Kepala Desa inisial HS.

Polisi telah menetapkan 10 tersangka dalam kasus ini. Namun, oknum Brimob berinisial HST belum ditetapkan sebagai tersangka.

Arist menegaskan, peristiwa ini merupakan kasus kekerasan seksual yang patut mendapat perhatian serius. Apalagi dampak kejadian ini terhadap korban begitu parah.

"Perlakuan bejat yang tidak manusiawi itu menyebabkan korban mengalami gangguan reproduksi hingga terancam menjalani operasi angkat rahim," kata Arist dalam keterangannya pada Selasa (30/5/2023).

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement