Selasa 20 Apr 2021 13:38 WIB

Revisi UU ITE Perlu Lindungi Korban Kekerasan Seksual 

Revisi UU ITE perlu juga melindungi seseorang yang menjadi korban kekerasan seksual.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Ratna Puspita
Ilustrasi Kekerasan Seksual
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Kekerasan Seksual

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyampaikan sejumlah catatannya terkait persoalan di pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Peneliti ICJR Maidina Rahmawati mengatakan, revisi UU ITE perlu juga melindungi seseorang yang menjadi korban kekerasan seksual. 

"Yang dibutuhkan dalam UU ITE pasal 27 ayat 1 UU ITE saat ini adalah sebagaimana bisa melindungi korban kekerasan seksual yang mana dia terjerat dalam konten melanggar kesusilaan yang mana tidak dikehendaki adanya konten kesusilaan tersebut pada dirinya, ini yang sebenarnya perlu menjadi catatan dalam revisi UU ITE khususnya pasal 27 ayat 1," kata Maidina dalam sebuah diskusi daring bertajuk 'Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Melalui Revisi UU ITE', Selasa (20/4). 

Baca Juga

Untuk diketahui bunyi pasal 27 ayat 1 yaitu setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. ICJR melihat tidak ada definisi melanggar kesusilaan di dalam UU ITE tersebut.

"Tidak ada penjelasan yang cukup komprehensif yang menjelaskan terkait dengan pengertian melanggar kesusilaan dalam UU ITE dalam pasal 27 ayat 1," ujarnya. 

Maidina mengungkapkan, di tahun 2016 memang pasal 27 ayat 1 direvisi oleh UU 19 Tahun 2016. Namun revisi tersebut juga tidak menjelaskan melanggar kesusilaan yang dimaksud seperti apa. Hal tersebut berbeda dengan buku 2 KUHP yang menjelaskan melanggar kesusilaan.

"Terkait kekerasan seksual yang di pasal 27 ayat 1 sebagai perbuatan membuat dapat diakses konten yang melanggar kesusilaan ini kan akan menciptakan iklim ketakutan bagi korban," ujarnya. 

ICJR merekomendasikan agar UU ITE menjelaskan definisi kesusilaan. Sementara yang bisa ditunjukkan melanggar kesusilaan hanya dalam dua konteks yaitu dalam ditujukan untuk umum dan juga yang kedua apabila ditunjukkan dalam ranah privat maka salah satu yang bisa dijerat adalah Apabila salah satu pihak tidak menghendaki adanya distribusi adanya transmisi konten tersebut.

"Maka sebenarnya yang kita rekomendasikan direvisi pasal 27 ayat 1 undang-undang ITE harus menjangkau tiga aspek tersebut," ungkapnya. 

Kabid Materi Hukum Kemenkopolhukam, Dado Achmad Ekroni sepakat bahwa pasal 27 ayat 1 UU ITE perlu direvisi. Pemerintah tidak ingin kasus yang dialami Baiq Nuril terulang. "Permasalahan di pasal 27 ayat 1 ini memang Itu yang saya katakan, rumusannya ini memang sangat-sangat karet, sangat-sangat lentur ya. Kalau bisa kita katakan kalau hanya pasal 27 ayat 1 seperti ini kita tidak bisa melindungi orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut karena adanya pengaruh daya paksa atau kekerasan ancaman kekerasan tipu daya atau penyesatan, jadi semuanya ini sangat-sangat karet," jelasnya.

Dado mengatakan tim kajian UU ITE yang dibentuk pemerintah telah mengundang 55 narasumber. Berdasarkan keterangan 55 narasumber tersebut tim sepakat bahwa perlu adanya revisi perubahan atas UU ITE baik di Undang-Undang 8 Tahun 2011 maupun di Undang-Undang 19 tahun 2016. 

"(Pasal) 27 itu menyangkut mengenai kesusilaan kemudian perjudian kemudian 28-29 juga ada di situ pasal-pasal tersebut tidak memenuhi unsur salah satu unsur dari azas legalitas yakni yang dikenal dengan lex certa jadi ketidakjelasan rumusan pasal dan itu yang yang saat ini sedang kita fokuskan bagaimana caranya kita merevisi dengan mendengarkan dengan narasumber yang sudah kita ambil sebanyak 55 orang tersebut," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement