REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia Hamdi Muluk mengatakan kekerasan verbal seperti ujaran kebencian terhadap kelompok identitas tidak boleh dianggap enteng. Daya rusaknya tidak kalah dengan kerasan fisik.
"Pada hakikatnya ujaran kebencian itu adalah kekerasan melalui ucapan yang bisa memancing emosi orang," kata Hamdi di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, ujaran kebencian terhadap kelompok identitas suku, agama, ras, dan antargolongan merupakan bentuk intoleransi. Tindakan itu bisa memicu konflik dan sangat berbahaya bagi negara majemuk seperti Indonesia.
"Konflik sosial pada hakikatnya adalah benturan antarkelompok di tengah masyarakat yang terprovokasi untuk melakukan kekerasan, yang dalam banyak hal berawal dari ujaran kebencian," katanya.
Menurut Hamdi, dalam pengamatanya selama ini, salah satu faktor pemicu perpecahan adalah ujaran kebencian. Oleh karena itu, dia sependapat bahwa ujaran kebencian harus dilarang.
Baca juga: Wapres: Politik Identitas di RI tak Parah
Ia juga sependapat soal identitas suku, agama, ras, ataupun antargolongan tidak dibawa ke dalam ranah politik. Hal itu sama halnya dengan memancing konflik.
"Dalam sejarah konflik di dunia, politik yang membawa identitas agama dan suku itu akan sangat mematikan dan paling berbahaya," katanya.
Agama, bagi pemeluknya, merupakan hal yang sakral dan tak boleh dikritik. Sementara itu, di dalam ranah politik, ruang untuk kritik sangat terbuka.
"Ini yang menjadi problem, apalagi kalau yang mengkritik beda agama. Ini bisa dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal untuk memperkeruh suasana," ujarnya.
Untuk itu, Hamdi memandang sangat penting untuk kembali ke Pancasila, rumusan yang paling maksimal yang dibuat oleh para pendiri bangsa. "Pendiri bangsa kita paham bahwa negara ini didirikan oleh kelompok-kelompok yang berbeda suku, agama, ras, keturunan, dan kepentingan macam-macam, majemuk sekali," kata Hamdi.