REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja yang memanas dalam beberapa hari terakhir menjadi alarm serius bagi Indonesia untuk menjaga warisan budayanya. Sengketa dipicu klaim atas sejumlah candi di sepanjang perbatasan kedua negara yang berujung pada bentrokan bersenjata.
”Benda budaya ketika sudah dikaitkan dengan kedaulatan teritori suatu bangsa dapat memicu pertikaian yang berkepanjangan. Indonesia mesti mengambil pelajaran dari sini, waspadai dan jaga warisan budaya bangsa,” ujar Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri, Darmansjah Djumala, dalam keterangan tertulis, akhir pekan ini.
Konflik meletus sejak 24 Juli, ketika tentara Thailand dilaporkan terjebak ranjau darat di wilayah perbatasan. Thailand menuding Kamboja sebagai pelaku pemasangan ranjau, sementara Kamboja membantah. Ketegangan meningkat dengan penarikan duta besar masing-masing negara dan saling pengusiran diplomat.
Situasi memanas saat Kamboja dilaporkan menembaki pangkalan militer Thailand dekat Candi Ta Muen Thom. Sebagai balasan, Thailand menjatuhkan bom ke instalasi militer Kamboja di dekat Candi Preah Vihear, kawasan yang selama ini memang jadi titik rawan konflik.
Hingga kini, kedua negara saling tuding siapa yang memulai serangan. Korban tewas berjatuhan. Sekitar 100.000 warga sipil di Provinsi Ubon Ratchathani dan Surin juga terpaksa mengungsi.
Djumala yang juga mantan Duta Besar RI untuk Wina dan PBB, menyebut konflik ini tidak biasa. Ia menilai, warisan budaya berupa candi justru menjadi pemantik utama sengketa bersenjata tersebut.
”Tapi justru di sinilah letak signifikansi konflik Thailand–Kamboja dalam wacana sumber-sumber konflik di ranah hubungan internasional,” katanya.
Menurutnya, konflik atas Candi Preah Vihear dan Ta Muen Thom menunjukkan bahwa budaya menjadi faktor strategis dalam politik luar negeri Thailand dan Kamboja. Keduanya bahkan rela menggunakan kekuatan militer untuk mempertahankan klaim atas situs-situs tersebut.
Candi yang dibangun 900 tahun lalu oleh peradaban Khmer itu telah menjadi simbol kebanggaan nasional bagi Kamboja. “Politik identitas berlatar kultural inilah yang mendorong Kamboja untuk ngotot mempertahankan Candi Preah Vihear, sekalipun dengan konflik senjata,” jelasnya.
Djumala menyoroti bahwa selama ini warisan budaya seperti candi (tangible cultural heritage) kerap dianggap sebatas aset ekonomi. Namun, konflik Thailand–Kamboja membuktikan bahwa benda budaya bisa berubah menjadi isu politik yang menimbulkan ketegangan bersenjata.
Ia menambahkan, konflik warisan budaya benda masih mungkin dikelola karena menyangkut wilayah konkret. “Pertimbangan terhadap kepemilikannya mungkin bisa dirujuk pada konsep teritori dan batas negara,” ujarnya.
Namun, situasi bisa jauh lebih rumit jika menyangkut warisan budaya tak benda, seperti kesenian, ritual, atau pengetahuan lokal. Di tengah arus globalisasi dan mobilitas budaya, batas antara pencipta, penerus, dan peniru budaya menjadi kabur.
“Indonesia yang kaya dengan warisan budaya non-benda ini harus merawat dengan serius semua warisan itu, sebelum pihak lain mengeklaim secara sepihak,” kata Djumala.