Rabu 26 Jun 2024 07:33 WIB

Akademisi: Politik Identitas Meredup dalam Pilpres 2024

Mengapa politik identitas meredup dalam Pemilu 2024, dan apa implikasinya?

Rektor Universitas Paramadina Prof Didik J Rachbini (tengah, berbatik merah) dalam diskusi Islam dan demokrasi. Turut hadir antara lain, Prof Eunsook Jung dari University of Wisconsin.
Foto: dok ist
Rektor Universitas Paramadina Prof Didik J Rachbini (tengah, berbatik merah) dalam diskusi Islam dan demokrasi. Turut hadir antara lain, Prof Eunsook Jung dari University of Wisconsin.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah akademisi mengulas kondisi demokrasi di Indonesia pasca-Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 dalam diskusi yang diadakan Universitas Paramadina, kemarin. Dalam pengantarnya, Rektor Universitas Paramadina Prof Didik J Rachbini mengatakan, Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih akan menampilkan watak pemerintahan yang lebih nasionalis, baik dari sektor ekonomi maupun politik.

Lebih lanjut, direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) periode 1995-2000 itu mengungkapkan, kemenangan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming dalam Pilpres 2024 juga menunjukkan pelbagai fenomena. Di antaranya adalah kondisi populisme Islam dan politik identitas yang berbeda daripada pilpres sebelumnya.

Baca Juga

Menanggapi hal itu, Prof Eunsook Jung PhD mengaitkan Pilpres 2024 dengan peta politik Indonesia, setidaknya sejak Pemilihan Umum (Pemilu) 1955 sebagai pesta demokrasi pertama di republik ini. Menurut akademisi University of Wisconsin itu, peran Islam dalam politik telah mengalami perubahan, yakni sejak Pemilu 1999 yang merupakan pemilu demokratis kedua sesudah Pemilu 1955.

Pola-pola yang ada menunjukkan kemiripan. Misalnya, peningkatan dalam populisme Islam atau yang dikenal sebagai politik identitas.

Eunsook Jung mengatakan, pada Pemilu 2019 kecenderungan politik identitas lebih kuat dibandingkan dengan Pemilu 2014. Saat melakukan kampanye pada 2013, lanjutnya, seorang kandidat mendukung gagasan bahwa negara harus menjamin kemurnian ajaran agama dari segala bentuk penyelewengan.

Adapun pada Pemilu 2019, polarisasi semakin meningkat dengan pembagian antara kubu yang mendukung populisme Islam dan yang anti-populisme Islam. “Kandidat presiden kala itu menunjukkan kecenderungan populis Islam yang kuat, sementara lawannya lebih pluralis dan anti-populis Islam” kata Eunsook Jung menjelaskan dalam diskusi bertema “Islam dan Demokrasi" yang digelar di Ruang Granada, kampus Universitas Paramadina, Jakarta, Selasa (25/6/2024).

photo
Diskusi publik bertajuk Islam dan Demokrasi. - (dok universitas paramadina)

Sebaliknya, Pemilu atau Pilpres 2024 menyaksikan turunnya narasi populisme Islam dan politik identitas. Seluruh kontestan cenderung mengampanyekan program-program yang akan mereka jalankan, alih-alih menyuarakan posisi ideologis dirinya.

“Situasi berubah pada Pemilu 2024, di mana populisme Islam dan politik identitas tampak berkurang. Semua kandidat, termasuk yang paling Islamis, tidak lagi menekankan posisi ideologis mereka, melainkan fokus pada kebijakan yang lebih umum” tambah Jung.

Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa populisme Islam absen dalam Pemilu 2024? Apa saja implikasinya bagi masa depan? Menurut Jung, beberapa pihak menyebut fenomena ini sebagai akibat dari represi negara. Hal itu dikaitkan dengan contoh seorang ulama yang ditetapkan sebagai tersangka pada 2017, tetapi kemudian yang bersangkutan pergi ke Arab Saudi hingga November 2020.

Ada juga pandangan yang mengaitkan fenomena meredupnya populisme Islam dan politik identitas pada 2024 ini sebagai hasil dari kampanye anti-radikalisasi. Pemerintah dinilai sukses dalam melawan radikalisme.

 

Politik kian transaksional ....

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement