REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar keamanan siber CISSReC, Pratama Persadha mengatakan, dalam penyelenggaraan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 akan ada ancaman konten negatif. Ia memastikan, dari jutaan relawan pasangan capres cawapres akan ada yang memproduksi berita hoaks dan ujaran kebencian (hate speech).
"Ketika ada yang melakukan penyebaran berita hoaks, hate speech, pasti ada. Mau kita bilang 'jangan beri berita hoaks, jangan hate speech', enggak mungkin. Pasti di antara jutaan relawan itu pasti akan membuat berita itu," ujar Pratama dalam diskusi 'Kampanye Asik, Damai dan Antihoax' di kawasan Jakarta Pusat, Sabtu (22/9).
Ia menyebut, karakter pengguna internet di Indonesia lebih mudah menerima berita negatif daripada berita positif. Lanjut dia, solusi untuk melawan berita negatif dengan memperbanyak berita positif.
"Di Indonesia, orang lebih mudah menerima berita negatif daripada berita positif. Kalau banyak berita negatif, banjiri dengan berita positif. Kalau kita dikirimkan berita negatif, kirim berita positif," tutur Pratama.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, hoaks sangat berbahaya sehingga membuat para pemilih menjadi kehilangan legitimasi. Padahal, menurut dia, yang terpenting ialah legitimasi terhadap para pemilih.
"Tidak legitimate kalau memilih dengan didasari informasi atau pertimbangan yang tidak bebas atau dari informasi yang tidak jujur," ujar Titi.
Orisinalitas para pemilih dalam menggunakan hak pilihnya, lanjut dia, harus diikuti dengan penerimaaan informasi yang benar dan jujur. Hal ini sesuai dengan asas pemilih yang harus berlangsung secara rahasia, jujur, dan adil.
"Jujur dan adil bagaimana, yaitu bebas membuat keputusan," tutur dia.
Pilpres 2019 akan diikuti oleh dua pasangan calon. Pada Jumat (21/9), pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin mendapatkan nomor urut 1, sementara Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendapatkan nomor urut 2. Kampanye Pilpres 2019 akan dimulai pada Ahad (23/9).