Senin 20 Aug 2018 15:00 WIB

Warga Eksodus dari Kota Mataram

Gempa susulan terus terjadi di Pulau Lombok.

Red: Nur Aini
Sejumlah pengungsi korban gempa bumi memilih pakaian bekas di tempat pengungsian di Desa Santong, Kayangan, Lombok Utara, NTB, Sabtu (11/8).
Foto: Zabur Karuru/Antara
Sejumlah pengungsi korban gempa bumi memilih pakaian bekas di tempat pengungsian di Desa Santong, Kayangan, Lombok Utara, NTB, Sabtu (11/8).

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Gelombang eksodus masyarakat Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, kembali terjadi pascagempa bumi susulan pada Ahad malam dengan kekuatan 6,9 skala richter. Bahkan, jumlah warga yang eksodus dari Kota Mataram dinilai lebih besar.

"Bahkan jumlah masyarakat yang meninggalkan rumahnya untuk mengungsi kali ini lebih besar dan sporadis," kata Wakil Wali Kota Mataram H Mohan Roliskana di Mataram, Senin (20/8). Pernyataan itu disampaikan dalam rapat koodinasi dengan camat, lurah serta sejumlah pimpinan organisasi perangkat daerah (OPD) terkait, di bawah tenda darurat.

Sebelumnya, kata dia, masyarakat yang mengungsi pascagempa bumi pada minggu pertama Agustus sudah mulai kembali ke rumah masing-masing. Akan tetapi, gempa susulan dengan kekuatan yang sama terjadi pada minggu pertama.

Terkait dengan itu, tugas aparat kelurahan dan kecamatan kembali melakukan pengecekan terhadap sebaran titik pengungsian masyarakat termasuk pada titik-titik baru. "Camat dan lurah juga harus memberikan label pada masing-masing zona, dan mendata berapa kepala keluarga serta berapa jiwa yang ada pada zona tersebut," katanya.

Bila perlu, kata Mohan, para pengungsi diarahkan pada satu titik kumpul yang lebih luas agar dapat terkoordanasi secara maksimal termasuk untuk pendistribusian bantuan logistik. "Camat dan lurah harus mendata pengungsi lebih spesifik lagi terutama untuk kategori usia lanjut, bayi, balita dan ibu hamil," ujarnya.

Di samping itu, wakil wali kota juga meminta Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) memasang lampu penerang pada sejumlah titik pengungsian.

"Jangan sampai titik pengungsian masyarakat gelap gulita, dan hal itu dapat memicu hal-hal yang tidak kita inginkan," ujarnya.

Di sisi lain, Mohan juga mengingatkan kapada aparat agar tidak membiarkan lingkungan kosong tanpa ada petugas keamanan. Biasanya, masyarakat pergi ke lokasi pengungsian mulai sore hari.

"Sedangkan untuk pendataan rumah rusak yang sebelumnya sudah ditutup, kini dibuka kembali agar masyarakat yang rumahnya rusak akibat gempa susulan bisa segera melaporkan dan terdata secara terstuktur," ujarnya.

Berdasarkan data BPBD Kota Mataram, data jumlah pengungsi terakhir pada 16 Agustus 2018, berjumlah 93.073 orang yang tersebar pada 977 titik ungsi di enam kecamatan.

Selain di Mataram, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbawa, Zainal Abidin, mengatakan banyak warga di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) mengungsi akibat gempa yang terjadi pada Ahad (19/8) malam.

"Semalam kejadiannya begitu gempa besar pada keluar, terus ada gempa susulan yang membuat warga trauma dan memilih tidur di lapangan atau halaman rumah," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id dari Mataram, NTB, Senin (20/8).

Ia mengatakan, banyak warga yang masih belum berani masuk ke dalam rumah akibat rasa trauma. Zainal menambahkan, gempa juga mengakibatkan cukup banyak kerusakan rumah maupun bangunan lain di Sumbawa. Namun, angka pastinya masih dalam pendataan. "Yang rumahnya rusak mengungsi di kantor desa atau kecamatan," ujarnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement