REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putri almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Yenny Wahid mengatakan bahwa NU seharusnya berjalan sesuai dengan Khittah NU 1926 yang digulirkan dalam Muktamar ke-27 NU tahun 1984 di Situbondo. Karena itu, menurut dia, secara organisasi NU tidak boleh berpolitik praktis meskipun yang maju dalam Pilpres merupakan Rais Aam PBNU.
"NU tidak boleh berpolitik praktis. Itu semua sudah menyadari. Dan saya kira ini sudah menjadi pegangan sikap kita semua," ujar Yenny saat ditemui dalam acara Istighasah Kubra di halaman Masjid Jami' Nurul Islam Koja, Jalan Cipeucang II, Koja, Jakarta Utara, Ahad (19/8) malam.
Kendati demikian, menurut dia, secara individu warga NU boleh berpolitik dan boleh memilih siapapun calon pemimpinnya. Bahkan, kata dia, warga NU juga boleh menjadi tim sukses dari pasangan Jokowi-Kiai Ma'ruf Amin ataupun pasangan Prabowo-Sandiaga Uno.
"Jadi NU memang netral dalam berpolitik. Itu sikap organisasi dari dulu sampai sekarang. Kalau kemudian ada orang yang punya sikap politik sendiri dan kemudian mengatasnamakan NU, maka itu tidak mengatasnamakan organisasi secara besar," ucap Yenny.
Dia mengatakan, dengan majunya Rais Aam PBNU KH Ma'ruf Amin sebagai pasangan Jokowi, juga belum tentu bisa membulatkan suara warga NU pada Pilpres mendatang. Karena, menurut dia, sejak dulu suara warga Nahdliyin tidak pernah utuh hanya pada satu calon.
"Dari dulu kita lihat sejarah NU saja. Bahkan ketika salah satu tokoh NU ikut dalam kontestasi politik, yaitu KH Hasyim Muzafi pun suara NU juga tidak bulat," kata Yenny.
Dia menambahkan, warga NU memang mempunyai proses sendiri dalam membuat keputusan. Apalagi, warga NU berada di berbagai macam partai, seperti di PPP, PKB, Golkar, Gerindra, dan Nasdem. "Jadi ya inilah kenyataannya, dan ini membuktikan bahwa NU tidak ke mana-mana tapi ada di mana-mana," jelasnya.