REPUBLIKA.CO.ID, SALATIGA -- Ketua Dewan Pembina Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Dr KH Din Syamsudin menanggapi perdebatan mengenai calon wakil presiden (cawapres), baik yang bakal mendampingi pejawat Joko Widodo maupun Prabowo Subianto. Ia mengatakan kepemimpinan nasional ke depan membutuhkan orang yang memiliki pemahaman yang dalam dan luas tentang visi kebangsaan dan cita-cita nasional.
Tanpa itu, pemimpin tidak akan bisa membawa bangsa ini ke arah pencapaian cita-cita nasional. Ia mengatakan kapasitas tersebut perlu ditambah dengan kemampuan membaca realitas sesungguhnya dari masyarakat Indonesia dewasa ini.
Realitas masyarakat tersebut baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial. “Termasuk kecenderungan masyarakat Indonesia yang mengalami perubahan cepat sejak era reformasi,” kata dia di sela menghadiri Konferensi Internasional tentang Islam dan Masyarakat Muslim (ICONIS) di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, Jawa Tengah, Rabu (1/8).
Menurut Din, kepemimpinan nasional ke depan juga dituntut memiliki kemampuan untuk membaca realitas global, realitas dunia. Sebab, tanpa dikaitkan dengan dinamika global, upaya membawa bangsa ke arah cita-cita nasional akan kehilangan arah.
Apalagi sekarang ini, ia mengatakan, terjadi pergeseran pusat perekonomian global, geopolitik, dan geo-ekonomi dunia. Sehingga, terjadi persaingan antar bangsa, dan antarnegara.
Indonesia, lanjutnya, harus bangkit dan tampil sebagai negara besar. Indonesia juga harus menjadi pemain kunci dengan mengedepankan kekuatan sumber daya manusia dan sumber daya alamnya.
Terakhir, ia juga merekomendasikan kriteria dan kapasistas kepemimpinan nasional yang bisa mempersatukan bangsa majemuk ini, baik atas dasar agama, suku, bahasa, maupun budaya. Sebab tanpa persatuan dan kebersamaan, potensi besar yang dimiliki bangsa ini tidak akan berarti apa-apa.
“Artinya kapasitas pencipta solidaritas juga dibutuhkan agar kita tidak disibukkan oleh upaya untuk mengatasi konflik antar kelompok-kelompok masyarakat, jadi perlu kapasitas sebagai solidarity maker (pencipta solidaritas), itu antara lain,” kata dia.
Mantan ketua umum PP Muhammadiyah ini juga mengungkapkan, kepemimpinan nasional memerlukan satu pendekatan lain. Pada era informasi dan media sosial, demokrasi seharusnya menjadi jalan beradab untuk mengatasi ketidakadaban dan kebiadaban.
Namun, sekarang ini ketidakadaban sosial mengemuka, terutama lewat media sosial. “Ini membawa kita pada sebuah posisi pro dan kontra pada proses sebuah dialektik yang penuh dengan pertentangan,” katanya.
Ia melanjutkan ketidakadaban itu semakin mengemuka ketika berhimpit dengan proses demokrasi seperti pemilihan, baik pemilihan legislatif, pemilihan eksekutif, pilpres. “Jika dalam hal ini tidak ada kedewasaan, kepribadian dari bangsaakan sangat rapuh dan rentan terhadap perpecahan dan ini yang harus segera diatasi,” kata dia.