REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program penataan kampung kumuh di Ibu Kota akan dilakukan setelah revisi Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi selesai dilakukan. Langkah itu ditempuh guna memastikan penataan yang dilakukan tidak menabrak aturan tentang tata ruang dan zonasi.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, pekerjaan mewujudkan janji penataan kampung tetap bisa dilakukan seiring menunggu revisi perda RDTR. Keduanya, menurutnya, bisa berjalan secara paralel. Kendati demikian, implementasi atau pelaksanaan harus sesuai dengan dasar hukum yang ada selama belum diubah.
"Prosesnya bisa jalan bareng. Di dalam proses ini ada juga yang sudah dikerjakan lalu diusulkan masuk dalam RDTR," kata Anies Baswedan di Kembangan, Jakarta Barat, Jumat (25/5).
Anies mengatakan, perlakuan untuk daerah yang tidak sesuai zona peruntukannya, akan dilakukan cara berbeda. Dia mencontohkan, jika ada bangunan di tempat yang zonanya tidak sesuai peruntukan tapi sudah terlanjur ada, maka akan dibuatkan nota. Di tempat itu, kata dia, diusulkan untuk dimasukkan dalam proses revisi.
Namun, lanjut Anies, cara itu hanya ditempuh untuk tempat yang peruntukannya tidak sesuai tata ruang dan zonasi. Sementara yang sudah sesuai aturan, penataan bisa dilakukan.
Anies mengatakan, penataan kampung kumuh di Ibu Kota akan dilakukan dengan melihat karakteristik masing-masing kampung. Tidak menutup kemungkinan ada kampung yang ditata dengan merelokasi warga yang tinggal di daerah tersebut.
"Mungkin ada (relokasi). Jadi jangan juga nanti gini, 'Anies Baswedan: Tidak Ada Relokasi', bahaya. Intinya justru tiap kasus beda-beda jadi tolong jangan disimplifikasi," kata dia.
Menurutnya, penataan ulang kampung tidak bisa diseragamkan. Setiap kampung memiliki karakternya masing-masing. Ia mencontohkan, warga yang sudah tinggal 20 tahun berbeda dengan yang 40 tahun dan beda pula dengan yang 5 tahun.
"Itulah kenapa dalam urusan penataan Kampung ini tidak ada satu rumus untuk semua. Justru setiap case beda-beda. Apalagi kalau menyangkut tanah beda-beda sekali latar belakang masalahnya," katanya.
Pembangunannya, lanjut Anies, dilakukan dengan melibatkan warga agar hasilnya sesuai dengan kebutuhan yang ada di tempat itu.
Anies mengatakan, penataan kampung di Jakarta akan melibatkan empat komponen yang terlibat dalam community action plan. Keempat komponen itu adalah warga, pemerintah, pakar dalam artian orang yang berpengalaman di bidang ini serta fasilitator proses.
"Fasilitatornya bukan dari pemerintah, fasilitatornya adalah pihak tersendiri. Kemudian masalah-masalah yang terkait dengan legal nantinya harus diselesaikan oleh pemprov," ujar dia.
Ada 21 lokasi akan ditata yang tertuang dalam Keputusan Gubernur Nomor 878 Tahun 2018 tentang Gugus Tugas Penataan Kampung yang diteken Anies 21 Mei lalu. Di Kecamatan Pademangan ada Kampung Lodan, Kampung Tongkol, Kampung Krapu, Kampung Muka, dan Kampung Walang.
Di Kecamatan Penjaringan, kampung yang ditata yakni Kampung Akuarium, Kampung Marlina, Kampung Elektro, dan Kampung Gedong Pompa di Penjaringan, Blok Empang, Kampung Kerang Ijo, dan Kampung Baru Tembok Bolong. Dan di Kecamatan Kelapa Gading adalah Kampung Tanah Merah.
Sementara di Kecamatan Koja, ada beberapa RW yang akan ditata di Kelurahan Tugu Selatan dan Rawa Badak Selatan. Di Kecamatan Jatinegara, Kampung Prumpung akan ditata.
Untuk di Jakarta Barat, ada lima kecamatan yakni Kebon Jeruk, Taman Sari, Cengkareng, Grogol Petamburan dan Kebayoran Lama. Kampungnya yakni Kampung Rawa Barat, Rawa Timur, Guji Baru, Kunir, Kali Apuran, Kampung Sekretaris dan Kampung Baru.
Anggota Komisi D DPRD DKI Bestari Barus menyambut baik upaya pemprov menata kampung. Namun, dia mengingatkan Anies tak menabrak aturan yang ada. Ia mengatakan, pemprov harus memastikan bahwa tempat yang akan ditata harus sesuai peruntukan tanahnya.
"Kalau enggak sesuai berarti bukan solusi permanen yang diberikan gubernur. Justru menjadi masalah ketika tidak menjabat lagi masyarakat akan kembali diuber-uber," katanya.
Politikus Nasdem ini mengatakan, penataan tak masalah untuk kampung yang letaknya tidak melanggar trase sempadan sungai. Namun, jika letak kampung tersebut melanggar sempadan sungai yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Sumber Daya Air yang melarang bangunan berdiri di bantaran. Perda RDTR tak bisa bertentangan dengan isi UU yang hirarkinya lebih tinggi.
"Kembalikan pada fungsinya sesuai peruntukan dan sesuai payung hukum yang ada. Ketentuan yang ada di perundang-undangan mengenai trase sungai itu kan 15 meter. Niatnya (pemprov) baik. Tapi niat baik jangan menyisakan persoalan di belakang," ujar dia.