REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Agus Maftuh Abegebriel*
Tiga jam pascaengkau dipanggil oleh Allah SWT, aku datang di makammu yang masih basah dan baru, dengan diantar petugas makam yang baru saja memandikanmu dan menguburkanmu. Sendirian aku shalat jenazah di atas pembaringanmu di Makkah al-Mukarromah. Kupanjatkan doa kepada Allah dengan beberapa kali menyebut namamu, Muhammad Zaini Misrin Arsyad.
Hari itu, 'pasukan klandestin' infokan bahwa kau akan kembali ke pemilikmu, Allah SWT. Aku tinggalkan kursi rapat di OKI yang sedang bahas nasib 'saudara-saudara kita Muslim minoritas' di berbagai belahan bumi bersama 54 anggota OKI. Aku berlari mencari tahu di mana engkau menjumpai takdirmu dan di mana engkau dikuburkan.
Masih segar dalam ingatanku ketika kita bertemu pertama kalinya di penjara Makkah Juni 2016. Kita berpelukan dan aku bisikkan bahwa aku baru saja menginjakkan kaki di bumi Saudi yang salah satu tugasku adalah melakukan pendampingan dan upaya hukum untuk menyelamatkanmu dari hukuman mati karena sebuah kasus hukum di tahun 2004.
Melayani dan 'menghadirkan negara' adalah tugas utama para diplomat Indonesia di Saudi. Sejak itu, engkau sering menelponku dan menanyakan detail tentang perkembangan kasusmu dan selalu aku jawab: Kami sedang ikhtiar untuk menulis dan mengarahkan 'takdir baik' untuk berpihak kepadamu.
Mas Zaini Misrin, ruh kebersamaan (soul of togetherness, Nahnuwiyyah) di KBRI dan KJRI menjadi mesin diplomasi yang kami banggakan untuk selalu berkhitmad, terutama kepada saudara-saudara kami yang kurang beruntung.
Kami begitu optimistis ketika seorang santri Muhibuddin, atase hukum KBRI, seorang jaksa selalu mendampingiku dengan berbekal 'Salinan Putusan' kasusmu yang berhasil dia dapatkan di penghujung 2016 setelah sekian lama 'ngumpet' bertahun-tahun entah dimana. Beliau tak kenal lelah menemaniku melakukan forensik dokumen penting tersebut bersama tim Pengacara hingga temukan celah untuk membuat landasan pacu menuju PK (peninjauan kembali, i’adatun Nadlar) dengan mencari novum/bukti baru untuk meringankan bahkan membebaskan engkau, sahabatku Zaini Misrin dari vonis mati yg sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) sejak tahun 2008.
PK (i’adatun Nadlar) ini memang sebuah 'makhluk baru' dalam sejarah bilateral Saudi Indonesia selama 68 tahun ini. Kebaruannya merupakan tantangan tersendiri bagi Perwakilan Indonesia di Saudi. Untuk menelaah kasusmu, engkau 'memaksaku' untuk kembali ke habitat genuinku sebagai seorang santri untuk kembali mengakrabi kitab2 terkait Fiqih Pidana Islam terutama “at-Tasyri’ al-Jina’iy” nya Abdulqadir Audah dan juga KUHAP-nya Saudi.
Dubes RI, Agus Maftuh Abegebriel untuk Arab Saudi bersama dua petugas yang mengubur TKI, Muhammad Zaini yang dihukum mati Pemerintah Saudi.
Setelah ahli waris mantan majikanmu, Abdullah Sindi menutup pintu maaf, hanya ada satu lorong PK dengan novum baru yang bisa menyelamatkanmu. Aku tahu persis bahwa ketika ada pangeran muda terbukti membunuh, maka Raja dan keluarga kerajaan juga tidak memiliki hak syar’iy untuk mengintervensi dan membebaskannya.
Sahabatku Zaini, qisas hari Ahad jam 11.15 tersebut bukan inisiasi dari Kerajaan Arab Saudi, bukan juga dari Raja Salman dan Putra Mahkotanya, akan tetapi atas titah pemilik hak legal qisas yang sebenarnya, yaitu ahli waris mantan majikanmu, Abdullah al Sindi. Kerajaan Arab Saudi hanyalah sekedar wakil tanfiz/pelaksanaan hak mereka yang terlanjur sulit memberikan “kata maaf” sebagai kunci kebebasanmu.
Mas Zaini, engkau sepertinya sangat tahu kalau aku sangat memiliki hubungan emosional dengan tsaqafah Madura kelahiranmu, lebih-lebih ketika aku masih di IAIN Yogya, ada Pak Malik, ada Sayuri ada juga Ulfatul Hasna. Saking akrabnya kita ini, sampai dari dalam kuburmu pun engkau masih bisa memerintahku untuk melakukan sesuatu yang sangat emergency.
Baru saja aku keluar dari makammu, kau perintahkan aku untuk menyelamatkan seorang kawan yang tertangkap basah Polisi Makkah karena mengambil gambar “prosesi kembalimu” kepada Allah SWT dengan ponsel Samsung dari jarak 150 meter. Aku langsung lari ke Polsek Tan’im dekat tempat kita mengambil miqat umroh untuk urus “fans-mu” yang terancam dua tahun penjara dan denda lima juta riyal (Rp 17,5 M).
Di kantor polisi tersebut aku bertemu dengan seorang Kapten polisi yang sedang menyidik kawanmu. Lalu aku meluncur langsung ke Polda Mekah dan bertemu Kolonel Polisi yang awalnya galak, tetapi setelah saya lobi dengan mantra Madura luluh juga dia. Dan besoknya alhamdulilah kawanmu bebas dan bertemu aku dengan didampingi Rahmat Aming, seorang santri diplomat alumni pesantren Darussalam Ciamis milik Gus Icep gitaris ESKA Rock Band IAIN Sapen.
Mas Zaini, engkau membuatku jadi dubes cengeng, karena tadi siang ketika melantik PPLN (Panitia Pemilihan Luar Negeri) di KBRI Riyadh, aku tak kuasa menahan sedih dan mataku berkaca-kaca ketika kusebut namamu. Hanya mampu tiga menit aku memberikan sambutan dalam acara ini dan aku tegaskan bahwa KBRI sedang berkabung.
Maafkan aku yang gagal membawamu kembali ke Madura bertemu dengan kedua anakmu mas Thoriq dan Mustofa yang ganteng seperti dirimu. Maafkan aku yang tak mampu lagi mendapatkan kata maaf untukmu dari ahli waris mantan majikanmu yang hatinya sudah kadung membatu.
Maafkan aku yang tak mampu meyakinkan Mahkamah Ulya (Mahkamah Agung) Saudi untuk mengabulkan PK-mu. Aku tidak berhasil merangkai takdir baikmu berkumpul kembali dengan anak-anakmu.