REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia membenarkan perihal tidak adanya surat pemberitahuan resmi yang diterima perwakilan RI di Arab Saudi terkait eksekusi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Muhammad Zaini Misrin Arsyad. Padahal sebagai negara yang memiliki hubungan bilateral baik, Arab Saudi seharusnya memberikan notifikasi terkait eksekusi tersebut.
"Sebagai dua negara yang memiliki hubungan dengan baik dalam lapisan masyarakat maupun pemerintahan, sudah sepantasnya mereka mengirimkan notifikasi jika akan terjadi eksekusi," kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri RI, Lalu Muhammad Iqbal di Jakarta, Senin (19/3).
Iqbal mengatakan, memang secara konstitusional pemerintah Arab Saudi tidak memiliki kewajiban untuk memberikan notifikasi terkait eksekusi tersebut. Kendati, Iqbal melanjutkan, sejak eksekusi yang dilakukan kepada Siti Zainab pada 2015 lalu, kedua pemerintah membangun kesepahaman terkait hukuman mati kepada Warga Negara Indonesia (WNI) kepada perwakilan RI di Jeddah maupun Riyadh.
Muhammad Zaini Misrin Arsyad dinilai terbukti bersalah atas tuduhan pembunuhan terhadap majikannya, Abdullah bin Umar Muhammad Al Sindy. Pria yang berprofesi sebagai sopir itu diamankan kepolisian Arab Saudi pada 13 Juli 2004. Zaini ditangkap polisi setempat berdasarkan laporan anak kandung korban.
Mahkamah umum Mekkah kemudian menjatuhkan vonis hukukan mati kepada Zaini pada November 2008. Segera setelah menerima keputusan tersebut, kuasa hukum Zaini langsung mengajukan banding yang kemudian dilanjutkan dengan pengajuan kasasi. Meski demikian, kedua upaya itu malah menguatkan kembali keputusan yang telah ditetapkan pengadilan sebelumnya yakni qisas.
"Karena qisas maka yang bisa memaafkan adalah ahli waris, tapi sampai detik terakhir keluarga korban menolak membuka pintu maaf sehingga diyat tidak bisa dilakukan," kata Iqbal.
Iqbal mengungkapkan, pemerintah setidaknya telah mengajukan dua kali upaya hukum dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Pembelaan hukum itu pertama dilakukan pada awal 2017 yang kemudian ditolak Mahkamah Umum. PK kedua dilakukan pada Maret 2018 menyusul temuan bukti baru (Novum).
Iqbal membenarkan pernyataan Zaini yang mengatakan dipaksa mengaku otoritas setempat telah melakukan pembunuhan tersebut. Paksaan itu dilakukan saat prosea pendampingan dari belum dilakukan pemerintah RI. Hal ini lantas di bawa dalam PK kedua sebagai novum tersebut.
Sayangnya, Iqbal mengatakan, salah satu dari ketiga penerjemah, Abdul Aziz yang menjadi saksi menolak untuk membenarkan terjemahan yang diajukan pengadilan. Bersamaan dengan hal itu, otoritas setempat lantas melaksanakan eksekusi Zaini.
"Hal ini yang membuat kami melakukan protes karena hukuman sudah dilakukan di saat proses PK kedua belum menemui hasil," kata Iqbal.
Menurut Iqbal, tim perlindungan WNI di Saudi juga sudah melakukan kunjungan ke penjara sebanyak 40 kali sejak 2004. Iqbal mengatakan, hampir semua upaya juga sudah dilakukan untuk membebaskan Zaini dari hukukan mati sejak pertama kali kasus muncul.
Iqbal mengungkapkan, pemerintah juga telah menunjuk dua kuasa hukum. Yang pertama berlaku hingga 2016. Penunjukan kuasa hukum kedua dilakukan pada 2016 hingga saat ini. Pemerintah, dia mengatakan, juga telah memfasilitasi keluarga Zaini untuk berkunjung ke Arab Saudi 3 kali, sekali pada era presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dua kali pada pemerintahan Joko Widodo.
Iqbal mengingkapkan, sebanyak 24 nota diplomatik juga telah dikirimkan kepada pemerintah Saudi baik secara pribadi maupun kenegaraan. Presiden juga sudah tiga kali mengirimkan surat ke Kerajaan Arab Saudi. Isu terkait Zaini juga telah tiga kali diangkat dalam pertemuan empat mata dengan pemerintah Arab Saudi.
Diakui Iqbal, pemerintah sempat kesulitan terkait kasus Zaini. Dia mengatakan, ini menyusul pendampingan yang tidak dilakukan sejak awal kasus atau pada saat Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Ditambah, sistem perlindungan WNI pada 2004 hingga 2010 belum terbentuk dengan baik serta tidak adanya notifikasi ke RI sejak 2004.
"Sehingga kasus eksekusi yang muncul sebelum 2010 sulit dilakukan pendampingan karena kita nggak ngikutin dari awal sejak masih di BAP. Tapi pas 2010 itu sudah kita ikuti makanya sudah bisa kita bebaskan lebih banyak," katanya.
Seperti diketahui, Muhammad Zaini Misrin Arsyad dinilai terbukti bersalah atas tuduhan pembunuhan terhadap majikannya, Abdullah bin Umar Muhammad Al Sindy. Pria yang berprofesi sebagai sopir itu diamankan kepolisian Arab Saudi pada 13 Juli 2004.
Zaini Misrin kemudian dieksekusi mati Pemerintah Arab Saudi pada Ahad (18/3) sekitar pukul 15.30 WIB. Berdasarkan peraturan yang berlaku Arab Saudi setiap orang yang mendapat hukuman eksekusi mati akan dimakamkan di negara tersebut.
Zaini merupakan WNI yang berasal dari Bangkalan, Madura, Jwa Timur. Dia petama kali berangkat sebagai TKI ke Arab Saudi pada 1992 dan bekerja sebagai sopir pribadi. Pada 1996, Zaini sempat pulang ke Tanah Air sebelum pada akhirnya kembali ke Arab Saudi untuk bekerja pada majikan yang sama hingga dia dieksekusi.