REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, rencana eksekusi mati pada narapidana masih perlu mempertimbangkan berbagai hal. Pertimbangan itu, menurut Prasetyo baik dari sisi yuridis maupun teknis.
"Sebagian besar mereka senua dari terpidana mati itu sedang melakukan upaya hukum luar biasa, baik itu PK (pengajuan kembali) maupun grasi," kata dia di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (9/3).
Karena itu, lanjut Prasetyo, Kejaksaan Agung tidak bisa menentukan waktu hukuman mati begitu saja. Pertimbangan tersebut harus dipikirkan terlebih dah. "Tidak bisa main dor saja, kalau semua sudah terpenuhi, baru kita dor itu," ujar Prasetyo.
Dalam kesempatan sebelumnya, Prasetyo menyatakan, hukuman eksekusi mati tetap berlaku di Indonesia. Pasalnya, hukum positif di Indonesia masih mengatur mekanisme hukuman mati tersebut. Ia pun menyatakan, pelaksanaan hukuman mati itu tinggal menunggu waktu.
"Timing-nya kita sedang timbang-timbang, kapan saat yang tepat untuk melaksanakan eksekusi. Jangan dipikir kita tidak akan melaksanakan, untuk putusan hukuman mati yang sudah inkrah dan urusan telah terpenuhi kita laksanakan," ujar Prasetyo beberapa waktu lalu.
Namun, Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan menilai, rencana Kejaksaan Agung yang ingin melaksanakan eksekusi mati jilid 4 kontra-produktif dengan diplomasi Indonesia di arena politik internasional. Padahal, Indonesia mengincar posisi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020.
Indonesia juga tengah gencar menyelamatkan ratusan buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati. "Eksekusi mati justru akan mencoreng citra Indonesia di hadapan komunitas internasional," kata Ricky dalam keterangan tertulisnya.