REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertimbangkan banyak hal terkait permohonan "justice collaborator" (JC) yang diajukan terdakwa perkara korupsi proyek pengadaan KTP elektronik (KTP-el) Setya Novanto. Salah satunya adalah keseriusan dan itikad baik dari Setnov untuk mengungkap kasus korupsi KTP-el.
"Permohonan JC tersebut masih diproses. Analisisnya tidak mudah karena perlu mempertimbangkan banyak hal," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Kamis (26/1).
Menurut Febri, KPK masih harus melihat apakah memang ada keseriusan dan itikad baik dari terdakwa Novanto soal pengajuan JC tersebut. Indikator yang pertama kali dilihat, menurut Febri, apakah terdakwa Novanto mengakui atau tidak perbuatannya. "Jangan sampai kemudian seseorang mengajukan JC perbuatannya tidak diakui tetapi perbuatan pihak lain disampaikan. Bahwa kemudian terdakwa nanti akan terbuka, saya kira itu positif saja untuk proses persidangan. Positif untuk terdakwa, juga positif untuk penanganan perkara ini," ujarnya.
Namun, kata dia, KPK sejauh ini belum menerima informasi baru yang cukup signifikan terkait kasus KTP-e dengan terdakwa mantan Ketua DPR RI itu. "Karena itu kami perlu analisis lebih lanjut apakah JC ini dapat dikabulkan nanti atau justru tidak bisa dikabulkan," kata Febri.
Febri menyatakan bahwa seseorang yang mengajukan JC bukan lah pelaku utama dari kasus tersebut. "Sejumlah putusan hakim sudah menegaskan bahwa kalau pemohon JC adalah pelaku utama, pasti JC tidak akan bisa diberikan. Untuk menganalisis ini akan perlu waktu, perlu proses, kami juga akan lihat konsistensi di persidangan," ucapnya.
Novanto didakwa mendapat keuntungan 7,3 juta dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS dari proyek KTP-el. Dalam perkara ini, Novanto didakwakan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.