REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil anggota DPR RI periode 2014-2019, Hairuman Harahap. Dia diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi terkait dugaan tindak pidana korupsi pengadaan Kartu Identitas Penduduk Elektronik (KTP-el).
"Diperiksa sebagai saksi perkara pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri di Jakarta, Selasa (27/10).
Selain Hairuman, lembaga antirasuah itu juga memeriksa staf peneliti, pengembangan, dan rekayasa pusat teknologi komunikais dan informasi (BPPT) Gembong Satio Wibowanto. Ali mengatakan, mereka diperiksa guna melengkapi berkas tersangka mantan direktur utama Perum Percetakan Negara RI (PNRI) sekaligus ketua Konsorsium PNRI Isnu Edhi Wijaya (ISE).
ISE merupakan salah satu dari empat tersangka baru kasus e-KTP. KPK sebelumnya juga telah menetapkan mantan anggota DPR Miryam S Hariyani, Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP Elektronik Husni Fahmi dan Direktur Utama PT Sandipala Arthapura Paulus Thanos sebagai tersangka kasus serupa.
Peran dari tersangka ISE disebut bahwa pada Februari 2011 setelah ada kepastian akan dibentuknya beberapa konsorsium untuk mengikuti lelang KTP-el. Pengusaha Andi Agustinus dan tersangka Isnu menemui mantan pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto agar salah satu dari konsorsium dapat memenangkan proyek KTP-el.
Atas permintaan tersebut, Irman menyetujui dan meminta komitmen pemberian uang kepada anggota DPR RI. Kemudian tersangka ISE, tersangka Paulus, dan perwakilan vendor-vendor lainnya membentuk Konsorsium PNRI.
Selanjutnya, pemimpin konsorsium disepakati berasal dari BUMN, yaitu PNRI agar mudah diatur karena dipersiapkan sebagai konsorsium yang akan memenangkan lelang pekerjaan penerapan KTP-el. Pada pertemuan selanjutnya, mantan Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana menyampaikan bahwa PT Quadra Solution bersedia untuk bergabung di konsorsium PNRI.
Andi Agustinus, Paulus, dan ISE menyampaikan apabila ingin bergabung dengan konsorsium PNRI maka ada komitmen 'fee' untuk pihak di DPR RI, Kemendagri, dan pihak lain. Tersangka ISE juga sempat menemui tersangka Husni untuk konsultasi masalah teknologi karena BPPT sebelumnya melakukan uji petik KTP-el pada 2009.
ISE bersama konsorsium PNRI mengajukan penawaran paket pengerjaan dengan nilai kurang lebih Rp 5,8 triliun. Pada 30 Juni 2011, Konsorsium PNRI dimenangkan sebagai pelaksana pekerjaan penerapan KTP-el Tahun Anggaran 2011-2012.
Sebagaimana telah muncul di fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam perkara dengan terdakwa Setya Novanto, manajemen bersama Konsorsium PNRI diperkaya Rp 137,98 miliar dan Perum PNRI diperkaya Rp 107,71 miliar terkait proyek KTP-el itu.
Dalam perkara tersebut, perhitungan BPKP mengatakan bahwa negara dirugikan setidaknya Rp 2,3 triliun. Kerugian itu dihitung dari pembayaran yang lebih mahal dibanding harga wajar barang yang diperlukan, yaitu dibayar Rp 4,92 triliun, padahal harga wajar sekitar Rp 2,6 triliun.