Rabu 06 Sep 2017 19:02 WIB

Tak Peduli Hasil Gugatan di MK, PKS Tetap Tolak Penerapan PT

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bayu Hermawan
 Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS Sutriyono, S.Pd, M.Si
Foto: dok. Humas Fraksi PKS
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS Sutriyono, S.Pd, M.Si

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang (Pansus RUU) Penyelenggaraan Pemilu dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sutriyono telah memprediksi penerapan aturan ambang batas pengajuan calon presiden dalam Undang-undang Pemilu memang paling berpeluang untuk digugat. Hal itu menurutnya terbukti dengan banyaknya gugatan terkait pasal tersebut di Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.

"Terkait gugatan terhadap UU Pemilu, khususnya presidensial treshold, memang kami memandang bahwa penerapan president treshold ini akan berpeluang digugat," ujar Sutriyono saat dihubungi pada Rabu (6/9).

Karenanya, saat pembahasan Fraksi PKS bersikukuh agar penerapan ambang batas pengajuan calon dihilangkan atau nol persen. Sebab, dasar dari penetapan angka ambang batas pengajuan presiden tersebut menggunakan hasil Pemilu 2014 sudah tidak relevan, mengingat Pemilu 2019 dilakukan secara serentak.

"Kalau pakai hasil 2014, ini sudah di pakai untuk pilpres periode kemarin. Dalam waktu lima tahun ini pasti sudah banyak terjadi perubahan dan dinamika dalam politik dan sosial kemasyarakatan," katanya.

Karenanya ia mempersoalkan jika nantinya gugatan pasal tersebut tidak dimenangkan MK. 

"Pemilu 2019 nanti serentak antara Pilpres dan pemilihan legislatif, penerapan President Treshold menggunakan hasil pemilu yang mana? Untuk itu sikap kami, pada pemilu 2019 tidak ada president treshold," katanya.

Hari ini pihak yang menggugat pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 ke MK kembali bertambah. Hal ini setelah sejunlah kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Koalisi masyarakat pemerhati Pemilu mengajukan permohonan uji materi pasal tersebut ke MK pada Rabu (6/9). 

Pasal tersebut mengatur tentang ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold) sebesar 20 jumlah kursi DPR dan 25 persen perolehan suara sah Pemilu sebelumnya. 

Gugatan tersebut diajukan oleh dua orang pemohon atas nama pribadi, yakni mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2012-2017, Hadar Nafis Gumay dan aktivis Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perempuan Politik (Ansipol), Yuda Irlang. Selai itu, ada dua lembaga yang mengajukan uni materi, yakni Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif).

"Menurut pandangan kami  dalam aturan UU yang sesuai konstitusi seharusnya tidak bisa jika syarat parpol atau gabungan parpol harus punya 20 persen kursi atau 25 persen suara, apalagi sekarang Pemilu dilaksanakan serentak. Seharusnya setiap parpol yang memenuhi syarat sebagai peserta pemilu  bisa sendiri atau bersama mencalonkan tanpa syarat 20 persen kursi atau 25 persen suara nasional," ujar Hadar di Gedung MK, Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu.

Pasal 222 berbunyi ''Pasangan calon diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya''.

Menurut Hadar, pasal ini bertentangan dengan pasal 26 A ayat 2, pasal 22 E ayat 1 dan ayat 2, pasal 27 ayat 1, pasal 28D ayat 1, dan pasal 28D ayat 3 UUD 1945. Ia melanjutkan, ambang batas pencalonan presiden sudah diuji beberapa kali di MK dan sudah diputuskan dalam putusan nomor 13 Tahun 2014 berlaku sebagai politik hukum terbuka. Dengan begitu bisa saja ada penyesuaian terhadap munculnya  peraturan baru.

"Namun, jika membaca putusan itu harus sesuai dengan konstitusi secara keseluruhan. Kalau dilihat separuh, dan Pemilu dilakukan terpisah maka bisa saja," tutur Hadar.

Dia berpendapat, seharusnya sifat politik hukum terbuka didasarkan kepada persyaratan berdasarkan kondisi yang ada saat ini.

"Mengukur kekuatan parpol lima tahun yang lalu tidak sama dengan sekarang, kami memandang putusan MK sebagai politik hukum terbuka tidak berdiri sendiri. Memahaminya harus melihat konteks konstitusi secara keseluruhan," kata mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement