REPUBLIKA.CO.ID, Pawai obor dan takbiran keliling adalah tradisi lebaran yang ada hampir di seluruh Indonesia. Anak-anak kecil kerap antusiasi mengikuti pawai obor berkeliling kampung sembari memukulkan bedug dan melantangkan nama Allah.
Mahyudin pun mengaku dihinggapi antusiasme yang sama ketika dia masih kecil. Wakil Ketua Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) RI ini mengenang pengalaman berlebaran ketika masih kecil di Sangatta, Kalimantan Timur.
Pria kelahiran Tabalong, Kalimantan Selatan, ini bercerita dia bersama adik-adiknya akan bersiap mengikuti pawai obor dan takbiran keliling kampung bakda shalat Isya. Mahyudin kecil akan ikut meneriakkan 'Allahu Akbar' sembari membawa obor.
Mahyudin kecil tidak pernah melewatkan kegiatan seru ini. Namun, dia tidak bisa melakukan pawai ini hingga lewat tengah malam. Sebab, dini hari, saat mata masih mengantuk karena pawai semalaman, ibunya akan membangunkannya.
Tidak hanya itu, sang ibu, Mardiah, akan menyuruhnya mandi. Mahyudin tidak mandi di kamar mandi seperti orang yang tinggal di perkotaan, melainkan di sungai.
Mahyudin bercerita ibunya membangunkannya pada dini hari agar menjadi orang pertama yang mandi di sungai. "Air sungai masih bersih dan segar. Karena telat sedikit saja, airnya sudah keruh karena bekas mandi orang lain," kata dia, beberapa waktu lalu.
Selesai mandi, Mahyudin akan bergegas ke masjid untuk shalat shubuh berjamaah dilanjutkan dengan shalat ied. Usai shalat id, dia dan keluarga besar punya tradisi sungkeman dan makan buras.
Momen berkumpul bersama keluarga besar inilah yang membuat Hari Raya Idul Fitri sangat berkesan bagi Mahyudin. Kalau ada hal yang membuatnya sedih atau kecewa ketika Lebaran, yaitu kalau ayahnya, Mansur Mante, tidak punya uang.
Jika sang ayah tidak punya uang maka dia dan adik-adiknya tidak bisa mengenakan pakaian baru ketika Hari Raya Idul Fitri. "Terpaksa saya dan adik-adik berpuas dengan baju tahun sebelumnya, walau sedikit iri melihat teman-teman yang mengenakan baju baru," kenang Mahyudin.
Mahyudin menuturkan semua aktivitas itu dilakukannya hingga menjelang SMA. Dia tidak lagi melakukan rutinitas lebaran karena sudah merantau ketika SMA hingga lulus kuliah.
Mahyudin bersekolah dasar hingga SMP di Sangatta, Kalimantan Timur. Begitu naik SMA, dia bersekolah di Tabalong, Kalimantan Selatan. Alumni Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, ini pun harus belajar mandiri, jauh dari keluarga.
Kala itu, dia harus menikmati lebaran sendiri, sepi tanpa senda gurau, dan hanya bisa berkirim kabar lewat surat. Kini, kesibukan sebagai politikus membuat Mahyudin semakin sulit membagi waktu untuk pulang kampung berlebaran bersama orang tua dan keluarga besar di Sangatta, Kalimantan Timur
Mahyudin dan istri, Agati Suli, beserta anak-anaknya tinggal di Jakarta. Di Ibu Kota, ada banyak orang yang ingin bersilaturahim. Pria berusia 47 tahun ini pun mengambil jalan tengah, bergantian berlebaran di Jakarta dan Kaltim setiap dua tahun.
Pria berusia 47 tahun ini menerangkan jika tahun ini dia berlebaran di kampung maka tahun berikutnya di Jakarta. "Meski saya merasa lebaran di kampung lebih terasa sakral karena kental aroma kekeluargaan dan suasana relijius," kata dia.