Jumat 23 Jun 2017 01:01 WIB

Jaksa Duga Keterangan Saksi KTP-El Dikendalikan 'Konduktor'

Suasana sidang dengan terdakwa dugaan kasus korupsi KTP Elektronik Irman (kanan) dan Sugiharto (kiri) menjalani sidang lanjutan dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Kamis (22/6).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Suasana sidang dengan terdakwa dugaan kasus korupsi KTP Elektronik Irman (kanan) dan Sugiharto (kiri) menjalani sidang lanjutan dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Kamis (22/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga keterangan sejumlah saksi dalam persidangan kasus dugaan tindak pidana korupsi KTP-Elektronik dikendalikan 'konduktor'.

Jaksa KPK Irene Putri mengatakan penuntut umum telah menghadirkan beberapa saksi yang seharusnya mengetahui atas fakta tersebut. Namun, beberapa saksi memberikan keterangan dengan nada yang sama, yaitu nada 'tidak tahu', 'lupa', 'tidak pernah' dan 'keprucut' (telanjur). Bahkan, secara terang-terangan mencabut BAP. 

"Nada-nada tersebut teralun secara merdu di ruang persidangan ini seolah dikendalikan oleh seorang 'konduktor' yang sama dengan maksud menyelamatkan sang 'konduktor'," kata Irene di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (23/6).

Meski tidak mengungkapkan siapa konduktor yang dimaksud, jaksa tetap meyakini bahwa aktor sebenarnya kasus ini akan terungkap. "Namun 'Gusti Allah mboten sare, bechik ketitik olo kethoro' (Tuhan tidak tidur, yang bagus itu akan tertulis, yang buruk akan terungkap)," kata Irene. 

Jaksa mengatakan Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan rahmat-Nya dengan menunjukkan jejak pelaku kejahatan dalam setiap kejahatannya sehingga sampai saat ini KPK telah menetapkan dua orang sebagai tersangka memberikan keterangan palsu dan menghalangi pemeriksaan sidang pengadilan. 

Menurut Irene, dengan penetapan beberapa tersangka baru dalam perkara KTP-El, penanganan skanda KTP-El tidak berhenti pada perkara ini. "Namun dapat dipastikan akan ada halaman-halaman berikutnya yang akan menunjukkan sisi lain dari skandal ini," ujar dia. 

Hal itu menjadi perhatian KPK dan seluruh masyarakat. Selain menimbulkan kerugian negara yang cukup besar, skandal ini meninggalkan akibat yang masih terasa secara masif.

"Di tengah-tengah masyarakat, kita dapat melihat bagaimana penduduk harus menunggu berbulan-bulan hanya untuk mendapatkan satu KTP. Juga, persoalan lain karena ketiadaan KTP misalnya dalam pengurusan paspor, pindah tempat tinggal, serta masih terbukanya potensi diaksesnya data kependudukanoleh pihak lain," kata Irene. 

Dalam perkara ini, terdakwa I yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Irman dituntut tujuh tahun dan pidana densa sejumlah Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sejumlah 273.700 dolar AS dan Rp 2,248 miliar serta 6.000 dollar Singapura subsider dua tahun penjara.

Terdakwa II, mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto, dituntut lima tahun penjara ditambah denda Rp 400 juta subsider 6 bulan serta kewajiban membayar uang pengganti Rp 500 juta subsider 1 tahun penjara.

Jaksa menilai keduanya terbukti bersalah berdasarkan dakwaan kedua dari pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, yaitu menyalahgunakan kewenangan sehingga merugikan keuangan negara hingga mencapai Rp 2,3 triliun.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement