REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peringatan hari buruh pada tanggal 1 Mei seyogianya memiliki makna penting bagi buruh itu sendiri. Jangan sampai peringatan tahunan ini hanya sekedar seremonial dengan menggelar libur nasional, tapi tidak serat makna.
"Permasalahan buruh begitu kompleks dan harus diurai satu persatu," kata pengajar Hukum Tata Negara Universitas Islam Djakarta, Muhammad Soleh saat dihubungi Republika.co.id, di Jakarta, Senin, (1/5).
Soleh merincikan masalah buruh yang begitu kompleks, di antaranya ialah penghapusan pekerja alih daya atau outsourcing dan permagangan, soal jaminan sosial, jaminan kesehatan gratis, jaminan pensiun sampai permasalahan upah yang layak.
"Ini semua perlu menjadi perhatian, tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga legislatif dan para pengusaha serta serikat buruh itu sendiri," ujarnya.
Soleh yakin, political will pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan buruh sangat besar. Tidak ada negara yang menginginkan rakyatnya susah. Karena buruh bagian dari rakyat yang mendukung jalannya pemerintahan.
Untuk itu kata Soleh, pemerintah dan DPR mesti fokus, bagaimana mengatasi peningkatan kesejahteraan dan perlindungan terhadap kaum buruh bisa tercapai. "Memang berat di kondisi perekonomian bangsa yang belum begitu baik, tetapi setidak-tidaknya ada satu tuntutan buruh yang dipenuhi tahun ini, misalnya kenaikan upah atau penghapusan outsourcing," katanya.
Soleh berharap, jangan sampai masalah buruh hanya menjadi alat politik pada saat pilkada atau pemilu, tetapi nasibnya terlupakan. Semua pasangan calon di pilkada dan pilpres sering menggunakan isu buruh dengan menjanjikan peningkatan kesejahteraan buruh.
Padahal, kata dia, kalau isu buruh ini terealisasi maka tidak lagi ada aksi-aksi tahunan yang dilakukan para buruh, dengan banyak mengeluarkan biaya tidak sedikit dari buruh dan pemerintah itu sendiri.