REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Advokasi GNPF MUI, Dr. Kapitra Ampera menerangkan, pada Kitab Undang-Undang (UU) Hukum Pidana Pasal 107 dinyatakan, makar (anslag) adalah perbuatan yang ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan (omwenteling). Suatu perbuatan dikatakan makar, menurut Pasal 87 KUHP adalah apabila telah dimulainya perbuatan makar sebagaimana menurut Pasal 53 (percobaan).
Ia mengatakan, makar (anslag) dilakukan dengan perbuatan kekerasan. Secara yuridis, apabila seseorang melakukan perbuatan persiapan (voorbereidings-hendeling) dia belum dapat dihukum. Perbuatan makar sebagaimana dimaksud Pasal 107 KUHP dan 110 KUHP adalah ketika sudah mulai melakukan perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandeling).
"Realitanya, tidak ada tindakan atau upaya makar yang dilakukan oleh (Sekjen Forum Umat Islam) Al-Khaththath dan tersangka lainnya, tuduhan makar sangat tidak berdasar dan cenderung didefinisikan sendiri oleh pihak kepolisian," kata Kapitra kepada Republika.co.id melalui keterangan tertulisnya, Ahad (9/4).
Ia mengungkapkan, hingga saat ini pihak kepolisian belum dapat membuktikan adanya perbuatan permulaan makar para tersangka. Sehingga mereka ditangkap dan ditahan dengan tuduhan makar. Pihak kepolisian semestinya paham atas ketentuan hukum pidana dan tidak akan gegabah dalam menilai serta menetapkan upaya hukum terhadap seseorang.
Menurutnya, patut diduga adanya invisible power atau tangan-tangan terselubung yang menggerakkan kepolisian. Patut diduga ada kepentingan pihak tertentu yang merasa tidak nyaman dengan tuntutan masyarakat atas pelaksanaan UU Pemerintahan Daerah untuk memberhentikan sementara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dari Jabatan Gubernur DKI Jakarta.
Kapitra juga menjelaskan, kegiatan unjuk rasa merupakan hak warga negara dalam menyampaikan pendapatnya yang dilindungi oleh konstitusi dan UU No 8 Tahun 1999. "Negara ini telah terbiasa dengan adanya aksi unjuk rasa, demonstrasi, penyampaian aspirasi dan sebagainya," ujarnya.
Bahkan, dikatakannya, tidak jarang pula para demonstran masuk ke gedung DPR RI untuk bertemu dengan para wakil rakyat. Namun, baru kali ini aksi-aksi yang menuntut proses hukum yang adil dipandang sebagai kegiatan yang mencemaskan.
Para tokoh-tokoh yang ikut serta dalam aksi, sebelum aksi 212 dan 313 juga ditangkap dengan tuduhan makar. Ditambah lagi dilakukannya kriminalisasi terhadap para ulama yang dijadikan tersangka dengan tuduhan yang terlalu dipaksakan.
"Keseluruhannya memperlihatkan adanya kekuasaan yang dapat menggerakkan instrumen negara tanpa lagi mendasarkan hukum sebagai panglima," jelasnya.
Ia mengatakan, negara yang menggunakan kekuasaannya sebagai alat, jelas telah melakukan kejahatan negara. Mengabaikan konstitusi dan UU yang menjamin hak-hak warga negara dalam menyampaikan pendapat. Mencabut hak kebebasan seseorang dengan melakukan penangkapan dan penahanan tanpa didasari ketentuan hukum yang mengaturnya.
Ia menegaskan, padahal salah satu pilar berdirinya NKRI adalah menjadikan negara ini sebagai negara hukum yang berkeadilan. Menjadikan hukum sebagai panglima bukan kekuasaan sebagai panglima. Hukum ditegakkan bukan hanya terhadap kelompok tertentu atau umat dan tokoh Islam saja. Bukan digunakan untuk melemahkan dan mencari-cari kesalahan seseorang.
"Hukum haruslah kembali mengendalikan kekuasaan, menjadi dasar bagi penguasa dan warga negara dalam kehidupan," tegasnya.
Menurutnya, tanpa hukum yang tegas maka penguasa akan seperti yang disampaikan Niccolo Machiavelli, het doel heiligt de middelen artinya tujuan menghalalkan segala cara untuk kepentingan penguasa. Oleh karenanya, pemerintah haruslah bersikap ideal sesuai dengan rule of law. Sehingga tegaknya hukum dan kepastian hukum dalam menuju keadilan hukum dapat dirasakan rakyat.