Kamis 26 Jan 2017 00:56 WIB

Peneliti UGM: Indikasi Antraks Kulon Progo Sudah Terlokalisasi

Induk sapi dan anaknya (ilustrasi).
Foto: Antara/Musyawir
Induk sapi dan anaknya (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Peneliti Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Widagdo Sri Nugroho mengatakan indikasi adanya penyakit antraks di Kabupaten Kulon Progo dua pekan lalu sesungguhnya sudah tertangani dan terlokalisasi.

"Sebenarnya sudah terlokalisasi di satu lokasi. Sudah ditangani. Jadi, saat ini bukan antraksnya yang jadi masalahnya, tapi (informasi) hoaxnya," kata Widagdo dalam diskusi dan sosialisasi mengenai antraks di Fakultas Peternakan UGM, Rabu (25/1).

Menurut Widagdo, indikasi munculnya penyakit antraks di Desa Purwosari, Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo langsung mendapatkan penanganan dari pihak terkait. Namun demikian, informasi keliru yang beredar melalui media sosial telanjur meluas dan menimbulkan keresahan bagi masyarakat.

Ia mengatakan selama ini penyakit antraks yang muncul di suatu wilayah di Indonesia selalu bisa tertangani dengan baik sebab penyakit itu tidak ditularkan secara langsung dari hewan ke manusia. "Tidak dari hewan, tapi dari sumber bahan yang tercemar lalu masuk ke dalam tubuh manusia," kata dia.

Bakteri antraks pada daging, kata dia, dapat mati apabila daging yang akan dikonsumsi direbus terlebih dahulu lebih dari 100 derajat celcius atau lebih dari 10 menit.

Kendati demikian, Widagdo menyarankan agar peternak lebih peka terhadap hewan yang terindikasi tertular antraks.

Peternak dianjurkan memanggil dokter hewan untuk memeriksa kondisi kesehatan hewan ternaknya.

Selain itu, hewan yang tertular antraks juga disarankan untuk tidak dijual, apalagi dipotong untuk dikonsumsi.  "Bahkan untuk nekropsi (bedah bangkai) saja tidak boleh. Hewan yang mati kena antraks seharusnya dibakar, tidak dikubur karena spora bakterinya bisa tumbuh kembali," kata dia.

Menurut Widagdo, penyakit antraks sebenarnya dijumpai hampir di semua negara. Bahkan, dari 180 negara yang tergabung dalam organisasi kesehatan hewan dunia sekitar 94 persen dari negara tersebut ditemukan antraks.

Sedangkan di Indonesia, kata dia, sekitar 22 provinsi yang dinyatakan endemik antraks. "Sekitar 22 provinsi saat ini endemik antraks. Yang belum dilaporkan hanya di Aceh, Riau, Bangka Belitung, Maluku Utara, Maluku, Papua dan Papua Barat," kata dia.

Sementara itu, dokter spesialis Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UGM, dr. Abu Thalib aman mengatakan penularan antraks berasal dari hewan ke manusia melalui kontak kulit yang terluka melalui inhalasi (udara yang tercemar spora antraks terhirup) dan lewat bahan makanan yang tercemar yang dikonsumsi.

Meski demikian, kata dia, tidak mudah penyakit antraks bisa menginfeksi dan menular ke manusia, kecuali lebih dari 10 ribu spora antraks masuk ke tubuh manusia. "Itupun bisa dikendalikan karena di dalam tubuh kita sudah ada antibodi," kata Abu Thalib.

Sebelumnya, Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian (Distan) DIY Sutarno mengatakan pihaknya masih menunggu hasil tes laboratorium terhadap sampel darah ternak sapi baik yang sakit atau sehat di Desa Purwosari, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo yang dilakukan Balai Besar Veteriner (BBVet) Wates.

"Belum ada yang memastikan secara resmi bahwa di DIY ini sebenarnya ada antraks atau tidak," kata dia.

Meski demikian, menurut dia, saat ini lalu lintas perdagangan sapi dari dan ke Desa Purwosari telah ditutup sementara selama pemberian antibiotik, vaksinasi, serta uji laboratorium masih berlangsung. Adapun lalu lintas sapi di desa lain di sekitarnya tetap dibuka, meski diperketat pengawasannya.

"Baru kalau kasus antraks ini memang sudah dinyatakan positif, kami akan menempuh langkah sesuai standar operasional prosedur (SOP) dengan mengisolasi jual beli sapi secara menyeluruh di daerah tertular. Sekarang itu kan belum," kata Sutarno.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement