REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sikap Komisi III DPR RI yang tidak menghadiri gelar perkara kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dinilai tepat. Gelar perkara yang dilakukan masih dalam tahap penyelidikan untuk menemukan ada atau tidaknya perbuatan pidana.
"Komisi III jangan masuk ke penegakan hukum, nanti ada pro-kontra. Kalau mau melakukan pengawasan silakan, panggil Kapolri ke DPR," kata pakar hukum pidana Teuku Nashrullah kepada Republika.co.id, Selasa (15/11). Dalam pemanggilan itulah, lanjutnya, DPR bisa menanyakan hal-hal terkait kasus tersebut kepada Kapolri.
Beberapa waktu lalu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian sempat mengeluarkan pernyataan bahwa Ahok tidak bermaksud menistakan agama. Nashrullah melihat pernyataan kalimat tersebut bisa saja keluar setelah Ahok memberikan keterangan. Ahok sendiri pun sah-sah saja jika mengatakan bahwa dirinya tidak bermaksud menistakan agama.
Namun, kata dia, kasus ini tidak merujuk pada kesengajaan atau tidak. Berdasarkan pasal 156 a KUHP, setiap orang apabila layak secara patut dan layak diperhitungkan, apakah dari ucapan atau perbuatannya menimbulkan perasaan ternista umat beragama, maka orang tersebut bisa dihukum. Nashrullah mencontohkan kasus penistaan agama yang dilakukan Arswendo Atmowiloto.
"Arswendo itu tidak punya maksud sama sekali hina Nabi Muhammad, polling-nya itu kan pendapat publik, tapi tetap dihukum," kata dia.
Majelis Hakim saat itu mengatakan seharusnya Arswendo dapat memperhitungkan bahwa tulisan yang dimuat tersebut dapat menimbulkan reaksi atau perasaan ternista umat beragama. Nashrullah mengatakan pasal 156 a bertujuan melindungi umat beragama sehingga seseorang harus berhati-hati mengeluarkan pernyataan tentang agama. "Kalau seenaknya bisa bahaya, bisa konflik itu. Makanya pasal 156 a ini untuk mencegah timbulnya konflik," ujarnya.