REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat kepolisian, Bambang Widodo Umar mempertanyakan kebijakan Polri apabila kasus dugaan penistaan agama Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama atau Ahok ditangguhkan hingga selesai Pilkada DKI Jakarta 2017. Menurutnya, tidak ada dasar hukum jika kasus tersebut ditangguhkan.
“Dasar hukumnya apa? Misalnya KUHAP/KUHP, UU Pemilu, ada dasarnya. Kalau dasar hukumnya atas dasar perseorangan meskipun pejabat enggak boleh,” ujar Bambang saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (21/10).
Sebagai negara hukum, kata Bambang, semua harus tunduk kepada hukum. Kapolri maupun Presiden harus menjunjung tinggi hukum. Dalam UUD 1945, semua warga negara sama dihadapan hukum.
Belum lagi dalam Pasal 28 UU No 2 Tahun 2002 tentang kepolisian tentang pejabat kepolisian tidak boleh ikut campur dalam politik praktis. Bambang meniliai, upaya penangguhan proses hukum Ahok merupakan gejala politisasi terhadap Polri.
“Jika benar, ini harus dicegah, baik oleh Presiden maupun Polri sendiri,” kata Bambang.
Di samping itu, adanya Pasal 28 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian termasuk konsekuensi dari implementasi dari negara hukum. Karena itu, semua pihak termasuk yang membuat kebijakan harus tunduk kepada UUD 1945 yang menyebutkan semua orang tunduk kepada hukum.
Proses hukum dugaan penistaan agama oleh Ahok ada kemungkinan ditangguhkan oleh Polri hingga Pilkada serentak 2017 selesai. Hal tersebut juga pernah dilakukan di Pilkada serentak 2015 sebelumnya pada masa Kapolri Jenderal Badrodin Haiti. Namun, penangguhan tersebut diambil dalam rapat terbatas.