Senin 29 Aug 2016 05:25 WIB

Panglima TNI: Dana Teroris ke Indonesia Paling Besar dari Australia

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyalami mahasiswa pascasarjana Unhan.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyalami mahasiswa pascasarjana Unhan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bangsa Indonesia harus waspada terhadap paham terorisme karena teroris adalah sebagian dari proxy war yang ada di Indonesia. Demikian dikatakan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo beberapa waktu lalu saat memberikan kuliah umum dihadapan 490 mahasiswa Pascasarjana Universitas Pertahanan di PMPP IPSC, Sentul, Bogor, pekan kemarin.

“Banyak orang yang mengatakan bahwa terorisme yang terjadi di Indonesia bahkan di dunia adalah karena faktor ketidakadilan, maka hal tersebut adalah bohong karena masalah terorisme sebenarnya berlatar belakang energi, ISIS sebagai contoh nyatanya,” ujar Gatot. 

Mantan KSAD tersebut menyatakan, ISIS saat ini bukan lagi ISIS melainkan Islamic State, karena mereka para teroris ingin membuat satu negara menjadi negara Islam. Namun, sistem rekrutmennya dari seluruh negara.

“Jadi ISIS sistem perekrutanya itu mencari hal-hal yang sensitif, di mana kesenjangan sosialnya dan tingkat ketidakadilan sangat tinggi serta sering terjadi pelecehan agama di negara tersebut, seperti Indonesia dan Prancis serta beberapa negara lainnya,” kata Gatot.

Dia juga menyinggung, banyak anak-anak Indonesia yang masih kecil, saat ini berada di Suriah. Mereka diberikan latihan menembak dan latihan militer lainnya untuk dididik menjadi pasukan ISIS.

“Anak-anak tersebut dicuci otak untuk menjadi teroris bahkan mereka membakar raport sekolahnya dan apabila nantinya mereka terdesak di Suriah, maka sesuai doktrin para teroris tersebut akan kembali ke negara asalnya dan mengadakan perjuangan di wilayahnya masing-masing,” kata mantan panglima Kostrad itu.

Gatot menyampaikan beberapa hasil survei yang dilakukan oleh lembaga penelitian, seperti, Wahid Foundation pada 2016 mengatakan, setidaknya 7,7 persen Muslim Indonesia bersedia berpartisipasi dengan teroris. Sebanyak 0,4 persen pernah berpartisipasi dengan teroris. Sedangkan Setara institute mengatakan, ada 35,7 persen siswa SMA Negeri di Jakarta dan Bandung intoleran pasif, sekitar 2,4 persen intolerar aktif, dan 0,3 persen berpotensi menjadi teroris. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement