REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Demokrat hendaknya memberi kesempatan bagi salah satu kadernya Ruhut Sitompul. Pasalnya selain (sebelumnya) menjabat sebagai koordinator juru bicara, Ruhut juga merupakan anggota DPR dimana dia harus mewakili suara rakyat.
"Untuk kasus Ruhut, mestinya diberi ruang (berpendapat) karena itu bagian tugasnya sebagai anggota DPR. Kalau yang berkaitan dengan Ahok, itu kan dia kemukakan secara pribadi (bukan atas nama partai)," ujar koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow kepada Republika.co.id, Selasa (23/8).
Dia pun mempertanyakan apakah seorang anggota DPR harus tunduk dan diam saja ketika partainya tidak menentukan arah sikapnya terhadap fenomena yang sedang terjadi. Menurut dia, tidak masalah apabila seorang kader menyampaikan aspirasi atau dukungan terhadap salah satu bakal calon kepala daerah, selama itu membawa namanya sendiri.
Lain halnya apabila partai telah menyatakan dukungan terhadap salah satu pasangan calon, maka mau tidak mau para kader harus ikut mendukungnya. Saat ini, kata Jeirry, masalah perpolitikan di Tanah Air adalah masalah inkonsistensi. Anggota DPR dan partai seingkalimemiliki opini atau aspirasi berbeda.
Terkait penonaktifan Ruhut, dia menduga hal itu tidak hanya semata-mata karena dukungannya terhadap Ahok, tapi juga karena dia (Ruhut) sering menyuarakan aspirasi rakyat. Artinya, ada suara-suara masyarakat pendukung Ahok yang ia suarakan.
"Kadang-kadang untuk persoalan seperti ini, mereka dihadapkan pada dua hal, apakah harus mengikuti policy (kebijakan) partai atau aspirasi rakyat," ujarnya.
Tak hanya pada Demokrat, perbedaan pandangan antara diri pribadi dan partai juga sering terjadi pada parpol lain. Seringkali anggota DPR tidak boleh berkomentar bebas mendahului partainya. Untuk itu, menurut dia, sanksi yang diberikan partai terhadap kondisi demikian itu tidak selamanya tepat.