Ahad 31 Jul 2016 17:59 WIB

Anggaran Eksekusi Mati Terpidana Narkoba Diduga Diselewengkan

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Indira Rezkisari
Hukuman Mati/Ilustrasi
Foto: Republika/Mardiah
Hukuman Mati/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menganggarkan ratusan juta rupiah untuk melaksanakan eksekusi mati terpidana kasus narkoba. Namun, anggaran eksekusi mati tersebut justru diduga disalahgunakan.

Kordinator Bantuan Hukum YLBHI, Julius Ibrani, menyebut pemerintah mengucurkan dana hingga sekitar Rp 400 juta guna penyelenggaraan eksekusi mati terhadap narapidana narkoba. Anggaran tersebut diberikan kepada kepolisan dan kejaksaan.

"Belakangan diketahui anggaran yang sudah cair mencapai Rp 7 miliar. Itu sudah habis. Ada satu kegiatan tapi ada dua anggaran yang dobel, ini jelas mengidentifikasikan dugaan penyelewengan anggaran negara," kata Julius di kantor YLBHI, Ahad (31/7).

Banyaknya anggaran yang diperuntukkan untuk melaksanakan eksekusi di tengah kondisi perekonomian yang tengah melambat pun dipertanyakan. Sebab, pemerintah saat ini justru tengah melakukan penghematan anggaran.

YLBHI pun meminta agar penggunaan aliran dana tersebut diselidiki. Menurut dia, hukuman mati yang diperuntukkan bagi para narapidana narkoba tidak tepat dilakukan. Ia mengatakan, jika pemerintah bermaksud untuk memberantas peredaran narkotika, maka para narapidana narkoba dapat dijadikan sebagai justice collaborator sehingga dapat membongkar pelaku yang terlibat dalam kasus narkoba.

Anggaran eksekusi mati yang mencapai ratusan juta tersebut dinilai tak sesuai dengan tujuan pemerintah untuk memberantas peredaran narkotika. Sebab, Julius juga mengungkap anggaran yang digunakan untuk obat bagi para terpidana kasus narkoba di LP Cipinang justru tak ada.

"60 persen warga binaan di LP Cipinang itu pengguna narkotika. Anggaran untuk obat di LP Cipinang itu Rp 0. Padahal untuk mengeksekusi Rp 400 jutaan," kata Julius.

Sementara itu, Arif Maulana, pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, menilai pelaksanaan hukuman mati terbukti tak efektif menghentikan peredaran obat-obatan terlarang di tanah air. Ia menyebut, berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), terdapat 21 orang terpidana mati kasus narkoba telah dieksekusi pada 2004-2014. Namun, jumlah pengguna narkoba justru tercatat meningkat dari 3,3 juta jiwa pada 2008 menjadi 5,1 juta jiwa pada 2015.

"Artinya, mau dieksekusi berapapun orang tidak akan berpengaruh pada kejahatan narkotika. Penegakan hukum tidak melulu soal eksekusi mati. Eksekusi mati terhadap terpidana narkoba itu tidak mengurangi peredaran, yang ada pelanggaran hak hidup," kata Arif.

Karena itu, ia meminta pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan hukuman mati terhadap narapidana narkoba. Aktivis Migrant Care, Wahyu Susilo, menilai pelaksaaan eksekusi mati yang dilakukan oleh pemerintah justru memberatkan upaya diplomasi pembebasan hukuman mati terhadap WNI di luar negeri.

Ia menyebut, berdasarkan data dari pemerintah, terdapat 228 TKI di luar negeri yang terancam hukuman mati. Sedangkan, berdasarkan catatan migrant care, tercatat sebanyak 281 TKI yang terancam hukuman mati.

"Artinya diplomasi kita terasa hipokrit. Kalau di luar negeri kita terus perjuangkan TKI kita, tapi kita tidak ada legitimasi politik karena masih berlakukan hukuman mati," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement