REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa Hukum terpidana mati Seck Osmane, Farhat Abbas menyatakan mengajukan grasi untuk kliennya. Dia berharap supaya Presiden dapat mengabulkan permohonannya tersebut.
"Harapan kami namanya makna grasi adalah upaya, bukan masalah benar tapi orang yang bersalah minta maaf, minta ampun dan perbaiki dirinya," ujar Farhat di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Selasa (24/7).
Farhat menuturkan berdasarkan UU No 5 Tahun 2010 tentang grasi Pasal 7 Ayat 2 menyebutkan grasi tidak dibatasi. Sehingga Farhat menganggap pelanggaran HAM apabila Kejaksaan masih melakukan eksekusi mati tanpa mempertimbangkan UU tersebut.
"Ini adalah melanggar HAM dan merupakan kesalahan kekuasaan," ujar Farhat.
Farhat menyatakan UU tersebut berlaku menyeluruh kepada narapidana untuk mendapatkan pengampunan Presiden. Karena grasi kata dia tidak ada batasnya, bahkan satu jam menjelang hukuman mati pun masih bisa melakukan permohonan.
"Jadi kapanpun, selama belum mengajukan grasi atau ditolak walau satu jam sebelum dieksekusi masih diberikan kepada terpidana mati untuk melakukan upaya permohonan ampun pada Presiden," jelasnya.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Noor Rachmad mengatakan keputusan Mahkamah konstitusi perihal pengajuan grasi tidak berlaku surut. Artinya terpidana mati yang pernah mengajukan grasi dan ditolak, maka akan diberi kesempatan dalam dua tahun untuk mengajukan kembali.
"Lewat dari itu tidak bisa. Prinsipnya hukuman terpidana mati itu hanya sekali," ujar Noor.
Diketahui Seck Osmane merupakan warga negara Sinegal yang divonis mendapatkan hukuman mati dalam sidang di Pengdilan Negeti Jakarta Selatan pada Rabu, 21 Juli 2004 silam. Osmane terbukti merupakan pemilik dan juga pengedar heroin seberat 2,4 kilogram.