REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jadwal pelaksanaan eksekusi mati bagi para terpidana kasus narkoba dinilai tidak boleh ditutup-tutupi, termasuk terhadap Merry Utami. Pemerintah meletakkan penyalahgunaan narkoba pada domain kejahatan publik.
Untuk itu, segala hal yang berkaitan dengan terpidana mati kasus narkoba hendaknya dibuka ke publik. Saat ini, rencana eksekusi mati menerpa Merry. Dia sudah pernah mengajukan grasi ke Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri.
"Apa alasan grasi ditolak, harus dibongkar. Apa yang membuat terpidana ini layak diberikan hukuman mati harus dibuka," ujar koordinator advokasi Pesaudaraan Korban NAPZA Indonesia (PKNI) Totok Yulianto kepada Republika.co.id, Senin (25/7).
Menurut dia, pemerintah harus melihat secara menyeluruh bagaimana seseorang bisa terlibat dengan narkoba. Untuk kasus Merry, penting juga dilihat apa latar belakang dan alasan dia membawa narkoba.
"Apakah dia butuh uang atau mungkin menjadi korban human trafficking sehingga nekat membawa narkoba dari luar negeri ke Indonesia atau sebaliknya. Ini harus dijelaskan, jangan malah ditutupi," kata Totok.
Merry Utami ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta karena membawa 1,1 kilogram heroin. Pada 2003, Pengadilan Negeri Tangerang pun menjatuhkan hukuman mati kepadanya.
Merry dilaporkan telah dipindah dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Wanita di Tangerang, Banten, ke Lapas Batu, Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Merry yang dibawa dari Tangerang menggunakan mobil Transpas tiba di Dermaga Wijayapura, Cilacap, pada Ahad pukul 04.30 WIB, dengan pengawalan personel Brigade Mobil (Brimob).