Kamis 07 Jul 2016 03:38 WIB

Kisah Kapten Mardani, 15 Tahun Lebaran di Atas Kapal

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Nur Aini
Kapal Roro mengisi penumpang dan kendaraan di Pelabuhan Merak, Banten, Selasa (21/6).  (Republika/ Wihdan)
Foto: Republika/ Wihdan
Kapal Roro mengisi penumpang dan kendaraan di Pelabuhan Merak, Banten, Selasa (21/6). (Republika/ Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, LAMPUNG -- Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran menjadi momen yang spesial dan ditunggu-tunggu setiap warga muslim. Di Indonesia, ‎jutaaan masyarakat rela bepergian puluhan bahkan ratusan kilometer untuk merayakan Lebaran bersama keluarga dan sanak saudara.  Namun momen setahun sekali ini, belum tentu bisa dirasakan semua Muslim.

Salah satu yang belum berkesempatan merasakan Lebaran kembali bersama keluarga adalah Kaptain Mardani. Seorang pemimpin kapal yang menyeberang dari Pelabuhan Merak ke Pelabuhan Bakauheni ini telah 15 tahun tidak berlebaran bersama keluarga.

"Sejak saya menjadi Kaptain kapal, saya belum pernah lagi merasakan Lebaran bersama keluarga dan pulang kampung di saat Idul Fitri," kata Mardani di sela-sela perjalanan menuju Pelabuhan Bakauheni, Selasa (4/7).

Sebagai seorang Kaptain kapal, Mardani memang memiliki tugas cukup berat. Dibantu sejumlah asisten atau Mualim yang terdiri dari juru mudik, kelasi, dan anak buah kapal, Mardani sebenarnya tidak banyak menggerakkan tangan. Dia hanya memerintahkan dan memastikan semua pekerjaan tepat. Hal itu terutama pada saat menaikkan dan menurunkan penumpang di pelabuhan.

Meski terlihat mudah, tugas ini sebenarnya sangat sulit dilakukan oleh orang di kapal. Hal inilah yang membuat Mardani tidak boleh izin cuti kerja di saat Lebaran. Karena trip kapal menjelang dan sesudah Lebaran sangat padat, maka dibutuhkan keahlian kapten kapal yang sudah berpengalaman.

"H-7 sampai H+7 kita tidak boleh cuti, kecuali untuk hal darurat. Makanya kita sering Lebaran di kapal," ujar Mardani

‎Meski harus berlebaran di kapal, Mardani menuturkan bahwa keluarganya di Jakarta sudah menyadari bahwa mereka akan sulit bertemu Mardani di waktu Lebaran. Dengan tanggung jawab Mardani yang sangat berat dalam menjalankan kapal, pihak keluarga pun akhirnya terbiasa.

Menurut dia, sebelum H-7 Lebaran, ia selalu menyempatkan untuk cuti kerja. Hal ini dilakukan untuk menghabiskan waktu bersama keluarga sebelum berkecimpung dengan pekerjaannya yang berada di lautan.

Meski tak bisa pulang di waktu Lebaran, keluarga Mardani bukan tidak bisa menemuinya. Jika trip yang dilakukan bertepatan saat Mardani ada di Pelabuhan Merak saat hari raya Idul Fitri, keluarganya kerap datang ke pelabuhan dan naik ke kapal untuk bertemu Mardani.

"Kalau dekat kapal (di Pelabuhan Merak) mereka datang‎. Kalau jauh (Pelabuhan Bakauheni) ya nggak," kata dia.

Perjalanan kapal Merak-Bakauheni yang biasanya 2-3 jam sekali membuat waktu kapal berada di laut tak menentu. Saat menyandar pun‎ seluruh ABK kapal tidak bisa menyentuh daratan, mereka harus segera menjemput penumpang yang ingin naik ke kapal untuk segera berangkat ke pelabuhan selanjutnya.

Dengan kondisi ini, Mardani menjelaskan bahwa dia dan seluruh ABK kapal hampir tiap tahun melakukan Salat Idul Fitri di kapal. Anjungan paling atas yang cukup luas pun menjadi pilihan untuk diadakannya shalat id. "Kita ada (shalat Id) di belakang (anjungan)‎. Biasanya memang di situ," kata Mardani.

Menurut Mardani, bukan hanya ABK kapal yang selalu menjalankan shalat id di kapal, saat ada penumpang yang bertepatan berada di kapal, mereka juga nantinya akan ikut shalat berjamaah. Usai shalat berjamaah, ‎seluruh ABK dan penumpang tak lupa bersalam-salaman dan bersilaturahmi. Sayang makanan khas Lebaran yaitu opor dan ketupat belum tentu bisa dinikmati ABK kapal. Sebab tak selalu koki kapal menyediakan makanan khas Idul Fitri itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement