Ahad 26 Jun 2016 08:29 WIB

Penyanderaan 7 WNI di Filipina Dinilai Janggal

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Nur Aini
Sandera (ilustrasi)
Sandera (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,‎ JAKARTA -- Kasus penyanderaan Kapal TB Charles dari Samarinda di perairan Filipina adalah peristiwa yang terjadi untuk ketiga kalinya. Pemerintah dinilai terlambat dan gagap menyikapi kasus ini.

"Berbeda dengan dua kasus sebelumnya, respons pemerintah terlihat gagap dan kurang siap terhadap kasus ini," ujar pengamat terorisme dari Universitas Indonesia (UI) Ridlwan Habib di Jakarta, baru-baru ini.

Pemerintah bahkan sempat menyangkal adanya penyanderaan. Panglima TNI dan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga sempat membantah adanya peristiwa itu. Menurut Ridlwan, Penyanderaan ini janggal karena mereka meminta tebusan dalam bentuk ringgit bukan dolar AS atau peso. Selain itu, kelompok bersenjata itu hanya menawan tujuh orang, sedangkal kapal dan enam orang sisanya dibiarkan pulang.

Pemerintah, kata dia, tampaknya belum memiliki mekanisme tanggap darurat ketika sebuah kasus penyanderaan terjadi. "Baru setelah simpang siur, Pak Luhut membuat crisis centre, " ujar Ridlwan.

Menurut Ridlwan, sistem operasi Bais dan intelijen Pangkalan TNI AL harus dievaluasi. Sebab, informasi yang tidak akurat yang disampaikan pada pimpinan bisa mengakibatkan salah mengambil kebijakan. "Kita sempat dipuji dunia internasional ketika sukses membebaskan 14 WNI. Saat ini kita diuji lagi dengan kasus 7 WNI. Jangan lengah, " ujar alumni S2 Kajian Stratejik Intelijen UI tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement