Ahad 22 May 2016 20:01 WIB

Biaya Tambahan Reklamasi Disamakan dengan Pemerasan

Rep: c39/ Red: Joko Sadewo
Suasana pulau C dan D Reklamasi di pantai Utara Jakarta, Rabu (11/5)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Suasana pulau C dan D Reklamasi di pantai Utara Jakarta, Rabu (11/5)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Mudzakir mengatakan payung hukum kasus reklamasi lemah.  Menurut dia, jika Gubenur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok itu minta biaya tambahan itu merupakan selera pribadi.

“Kalau Ahok itu minta tambahan itu selera pribadi bukan keputusan Kepala Daerah. Jadi ini menurut saya kurang tepat, sebagai pimpinan Ahok itu seharusnya taati aturannya, prosedurnya, dan seterusnya,” kata dia kepada Republika.co.id, Ahad (22/5).

Meminta tambahan pembiayaan, kata dia, tidak boleh kalau tidak ada payung hukumnya. “Kalau tidak ada payung hukumnya itu namanya pemerasan. Jadi semua prinnsipnya ada paying hukumnya lah,” ujarnya.

Ia mencontohkan, misalnya kalau dari awal itu 20 persen harus disetor ke negara 20 persen, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih karena itulah prinsip hukumnya. Jadi, lanjut dia, tidak boleh sewaktu-waktu minta tambahan. “Hukumnya harus pasti. Ijin-ijin harus pasti, semuanya pasti. Jadi, di tengah jalan tidak menjadi masalah. Bukan karena pertemanan atau bukan kedekatan yang lain,” ucapnya.

Ia mengatakan, prinsip aturan hukum dan dasar hukumnya nya harus jelas. Jadi, semuanya harus ada payung hukumnya. Penggunaan dana apa saja harus ada payung hukumnya. Jadi, itu tidak bisa begitu saja,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement