REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat terorisme dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya mengatakan hasil autopsi Komnas HAM, PP Muhammadiyah, dan Persatuan Dokter Forensik atas jenazah Siyono (34 tahun), terduga teroris dari Klaten, Jawa Tengah, membuktikan jika ada instrumen pengulangan dalam penanganan terorisme yang dilakukan Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Polri dan BNPT bersikukuh tidak ada aparat Densus 88 melakukan tindak pidana terhadap Siyono. "Sedikit asumsi yang diungkapkan oleh mereka (Polri dan BNPT) bahwa Densus 88 mungkin hanya menyalahi kode etik dan sidang kode etik secara terbuka digelar," ujar Harits kepada Republika.co.id, Jumat (15/4).
Menurut Harist, hasil autopsi itu justru memunculkan opini negatif terhadap penanggulangan terorisme di Tanah Air. Seharusnya, menurut dia, Polri maupun BNPT transparan dan objektif. Sebab bagaimanapun hasil autopsi yang dilakukan terhadap Siyono dikeluarkan dokter yang telah disumpah secara profesional, bahkan turut disaksikan seorang dokter dari Polri.
"Publik menyaksikan hari ini bahwa kejujuran, transparasi, objektifitas, akuntanbilitas Polri dan BNPT dari kasus Siyono betul-betul diuji pada titik yang sangat kritis," jelas Harits.
Melihat hasil autopsi Komnas HAM, PP Muhammadiyah dan Persatuan Dokter Forensik, mengungkapkan sejumlah fakta bertentangan dengan yang disebutkan Polri. Hasil autopsi Muhammadiyah menyebut tidak ada tanda-tanda Siyono melawan petugas saat ditangkap.
Penyebab kematian Siyono pun dikarenan pukulan benda tumpul di bagian rongga dada sehingga tulangnya patah ke arah jantung. Fakta lain adalah, jenazah Siyono belum pernah diautopsi, seperti yang dikatakan telah dilakukan oleh Polri.
(Baca Juga: Pengamat: Kasus Siyono Puncak Gunung Es)