REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi Undang-Undang tentang pemberantasan terorisme akan segera dibahas antara DPR dengan pemerintah. DPR sudah menyetujui pembentukan panitia khusus yang terdiri dari komisi I dan III untuk membahas revisi UU Nomor 15 tahun 2003 ini.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Hanafi Rais mengatakan, DPR akan mengkritisi beberapa hal yang sudah menimbulkan keresahan masyarakat. Meskipun draf revisi UU Terorisme belum diterima oleh komisi-komisi, namun, poin-poin dalam revisi sudah menjadi wacana publik.
Salah satunya adalah soal penambahan kewenangan dalam pencegahan oleh aparat. Isu yang beredar, pemerintah meminta tambahan waktu dalam melakukan penahanan terhadap terduga teroris selama 60 hari.
Menurutnya, permintaan tambahan masa penahanan menjadi 60 hari dinilai sangat ngawur. Terlebih, kata Hanafi, pemerintah meminta agar dapat melakukan penahanan di lokasi tertentu pada terduga teroris. Hanafi berharap revisi UU Terorisme ini tidak memunculkan dugaan upaya penghilangan orang.
"Itu kan juga bisa diduga ada penghilangan atau segala macam," ujarnya kepada Republika.co.id, Kamis (25/2).
Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini menegaskan DPR tidak ingin memberikan kewenangan yang lebih pada pemerintah untuk digunakan secara serampangan dalam pemberantasan tindak terorisme. Tindakan pemerintah dalam memberantas terorisme harus dapat dipertanggungjawabkan.
Jangan sampai upaya pemberantasan terorisme justru melanggar hak asasi dari masyarakat. Bahkan, Hanafi menilai masa penahanan pada terduga terorisme harus dikurangi.
Pemerintah juga harus bertanggungjawab pada terduga teroris kalau yang bersangkutan tidak terbukti. Terutama mereka yang menjadi korban perekrutan yang sebenarnya tidak mengetahui apapun soal terorisme.
"Makanya kita dorong supaya kalau sudah menangkap orang cukup 3 hari, kalau tidak terbukti dilepas lagi, jangan sampai minta tambahan 60 hari," tegasnya.