REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pansus Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menerima usulan agar peran TNI diperbesar dalam draf revisi.
Namun, Direktur Imparsial Al Araf menyebut TNI tidak cocok dilibatkan dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Alasannya dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 menganut model penegakan hukum atau criminal justice system.
"Menjadi salah dan keliru kalau melibatkan militer ke dalam UU Nomor 15/2003. Karena UU itu berbicara tentang bagaimana meningkatkan criminal justice system, penegakan hukum bukan pelibatan militer," katanya saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (28/6).
Al Araf menjabarkan UU tersebut melibatkan TNI, maka sistem penegakan hukum dan akuntabilitasnya akan kacau. Khususnya, ia berujar dalam aspek HAM dan demokrasi.
"Dan akan mengembalikan Indonesia ke dalam masa orde baru," ujarnya.
Kendati demikian, ia menyebut, militer bisa saja dilibatkan dalam pemberantasan terorisme. Asal, spektrum terorisme sudah mengancam kedaulatan negara. Pun, regulasi yang dipakai yakni UU TNI Nomor 34 Tahun 2004.
"Sebaiknya, DPR tak memasukkan TNI dalam UU 15/2003. Karena UU itu kategorinya tindak pidana, sehingga yang diatur adalah aparat penegakan hukum, sistem penegakan hukum, kepolisian, mekanisme peradilan dan perundang-undangan. Militer tak bisa dilibatkan," jelasnya.
Ia menjabarkan, model penegakan hukum lebih mengedapankan pra peradilan, akuntabilitas, dan peradilan. Apabila menggunakan pendekatan militer, ia menegaskan, tidak akan ada mekanisme akuntabilitas atau peradilan. Hal tersebut akan menjadi sesuatu yang membahayakan karena doktrinya hanya membunuh atau dibunuh.
"Bukan hanya di Indonesia (yang tak cocok). Di negara-negara demokrasi berjalan, itu memang tak cocok mekanisme tersebut, merusak mekanisme criminal justice system. Karena membahayakan HAM dan merusak kehidupan demokrasi," katanya.