REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perlindungan warga negara yang menjadi saksi atau korban atas suatu kasus kejahatan, selayaknya menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan daerah.
"Upaya perlindungan bagi warga negara menjadi tanggung jawab bersama, mulai dari pemerintah pusat hingga daerah," kata Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (24/2).
Ia mengingatkan, pihak-pihak yang memiliki tugas dan fungsi memberikan perlindungan itu juga tersebar di setiap provinsi di Indonesia, sehingga harus saling mendukung satu sama lain. LPSK yang hadir sejak 2008 itu bertujuan antara lain memperkuat layanan perlindungan bagi warga negara yang sudah ada sebelumnya di daerah-daerah di seluruh penjuru Indonesia.
Hanya saja, lanjutnya, LPSK mendapatkan mandat yang lebih khusus dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.
Ia memaparkan, mandat khusus dimaksud yakni memberikan layanan berupa perlindungan dan bantuan bagi para saksi dan/atau korban tindak pidana di Indonesia, di mana perlindungan mulai dari fisik hingga pendampingan hak prosedural. Sedangkan bantuan yang diberikan antara lain rehabilitasi medis, psikologis dan psikososial.
Namun, dalam praktiknya, LPSK sulit melakukannya sendiri, melainkan ada peran dan partisipasi dari para pemangku kepentingan lainnya di dalamnya. Sebelumnya, LPSK juga dalam sejumlah kesempatan telah mengajak masyarakat untuk dapat berperan dalam melindungi saksi dan korban kejahatan, karena hal tersebut bukan hanya kewajiban pemerintah tetapi seluruh elemen bangsa.
Data LPSK mencatat, kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya perlindungan saksi dan pemenuhan hak-hak korban kejahatan, semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2011, permohonan yang masuk ke LPSK berjumlah 340 kasus. Kemudian pada 2012, meningkat menjadi 655 kasus. Lalu, pada 2013, jumlah permohonan yang diajukan ke LPSK menyentuh angka 1.560 kasus.
Pada 2014, jumlah permohonan sempat turun ke angka 1.076 kasus. Namun, jumlah tersebut kembali membengkak pada 2015, dimana LPSK menerima permohonan sebanyak 1.590 kasus.
"LPSK tak bisa bekerja sendiri melainkan harus bersinergi dengan penegak hukum dan pemangku kepentingan lainnya," ujar dia.