Kamis 18 Feb 2016 20:56 WIB

Perlindungan Kaum Difabel tak Lagi Cuma Ditanggung Kemensos

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Achmad Syalaby
Calon Haji difabel berjalan dengan bantun petugas saat berada di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Selasa (8/9).  (Republika/Yasin Habibi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Calon Haji difabel berjalan dengan bantun petugas saat berada di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Selasa (8/9). (Republika/Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah bersama  DPR sedang membahas draf RUU Penyandang Disabilitas. Beleid usulan legislatif itu nantinya akan membagi-bagi porsi tanggung jawab negara dalam melindungi warga difabel.

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) tanggung jawab tersebut hanya melekat pada Kementerian Sosial (Kemensos) sebagai leading sector. Dalam UU Nomor 4/1997, hak-hak penyandang disabilitas hanya mencakup enam hal, yakni pendidikan, pekerjaan yang layak, perlakuan yang sama, aksesbilitas, rehabilitasi (bantuan sosial), dan terkait menumbuhkembangkan bakat.

Menurut Direktur Orang Dengan Kecacatan (ODK) Kemensos, Nahar, munculnya UU Penyandang Disabilitas kelak diharapkan memperluas perspektif dalam mewujudkan kehadiran negara untuk melindungi warganya yang difabel. Peran Kemensos sebagai leading sector tunggal akan dibagi-bagi merata ke seluruh kementerian/lembaga serta pemerintah daerah.

“Dengan undang-undang itu ke depannya (pemenuhan hak warga difabel) tak hanya urusan Kementerian Sosial. Sehingga dalam pasal-pasalnya itu juga mencantumkan tentang tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah di bidang yang terkait dengan penyandang disabilitas,” jelas Nahar saat dihubungi, Kamis (18/2).

Dalam perjalanannya, setelah UU Nomor 4/1997 ada juga UU Nomor 19/2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas (The Convention on the Rights of Persons with Disabilities/CPRD). Nahar menegaskan, UU Penyandang Disabilitas merujuk pada beleid tersebut, yang merupakan respons pemerintah RI atas Konvensi 2007 itu di New York, AS, silam.

Dia mengakui, dalam draf RUU Penyandang Disabilitas, pada bagian “Mengingat”, hanya tercantum sejumlah pasal UUD 1945, alias belum ada UU Nomor 19/2011 itu. Namun, menurut Nahar, hal itu tidak mengurangi bobot RUU Penyandang Disabilitas sebagai kelanjutan UU 19/2011.  “Tapi sebenarnya, RUU ini rujukannya UU Nomor 19 Tahun 2011 itu. Memang dalam rangka pembentukan undang-undang merujuk ke UUD,” jelas dia.

Proses pembahasannya masih berdinamika antara pemerintah dan DPR. Pemerintah sendiri, kata Nahar, telah membuat 753 daftar inventarisasi masalah (DIM) dari total 161 pasal dalam rancangan beleid tersebut.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement