Oleh: Fitriyan Zamzami*)
Salah satu titik nadir dalam kehidupan Kartini, jika menengok dalam surat-suratnya, adalah saat ia ditolak dari keinginannya menempuh pendidikan di Belanda pada 1903. Dalam surat-surat pada pertengahan 1902, Kartini demikian gembira dengan kemungkinan tersebut. Terlebih, saat ia mengindikasikan bahwa telah mendapat restu dari ayah bundanya.
Sayangnya, banyak pihak yang menghalangi niatan Kartini dengan banyak alasan. Menteri Pendidikan Hindia Belanda, Jacques Abendanon, misalnya, membujuk Kartini bersekolah di Batavia saja agar bisa menjadi guru untuk sekolah yang rencananya dibuka di Jepara. Kartini akhirnya menyetujui rencana ini dan mengajukan proposal beasiswa bersama adiknya, Roekmini, pada April 1903.
Abendanon berhasil meloloskan proposal itu pada Juni 1903 seturut restu orang tua Kartini. Tapi, saat persetujuan kolonial keluar, datang secara tiba-tiba rencana pernikahan Kartini dengan Bupati Jepara Raden Mas Ario Djojo Adiningrat. Penyusun Kartini: The Complete Writings 1898–1904, Joost Cote, menilai, pernikahan itu kemungkinan adalah upaya kolaboratif antara pihak kolonial dan keluarga besar untuk menahan keinginan Kartini. Paman Kartini yang menjabat bupati Demak, RMAA Hadiningrat, memang kerap melobi pihak kolonial untuk menyangkal keinginan Kartini menempuh pendidikan lebih lanjut.
Namun, dari nelangsa yang ia ceritakan dengan detail dalam suratnya itu, muncul hikmah lain. Kepada Rosa Abendanon, dalam surat tertanggal 24 Juli 1903, Kartini menceritakan seorang muda bernama Salim. Tak jelas betul bagaimana Kartini mengetahui perihal pemuda tersebut. Tapi, menurut Kartini, pemuda itu adalah seorang Sumatra asal Riau yang baru saja lulus dengan nilai terbaik di HBS tempatnya menimba ilmu.