Ahad 14 Feb 2016 21:44 WIB

Ada Dana Asing Masuk untuk LGBT, Pemerintah Dianggap Abai

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Indira Rezkisari
Anggota dalam Komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Interseks (LGBTI) menggelar aksi di Bundaran HI, Jakarta, Ahad (17/5). Aksi ini dilakukan untuk memperingati Internasional Day Against Homophobia dan Transphobia.
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Anggota dalam Komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Interseks (LGBTI) menggelar aksi di Bundaran HI, Jakarta, Ahad (17/5). Aksi ini dilakukan untuk memperingati Internasional Day Against Homophobia dan Transphobia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VIII DPR RI Bowo Sigit Prabowo menilai, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) abai terhadap kondisi sosial bangsa Indonesia. Hal tersebut menanggapi adanya dana dari United Nations Development Programme (UNDP) atau Badan Program Pembangunan PBB senilai Rp 107,8 miliar untuk program LGBT di Indonesia.

Menurut politisi dari Partai Golkar itu, seharunya pemerintah bisa menyaring bantuan-bantuan dari internasional. Terlebih, saat adanya wacana ihwal bantuan UNDP yang berkaitan dengan LGBT, seharusnya pemerintah menolaknya.

"Dan, pemerintahan Jokowi ini, boleh saya katakan, tak peka terhadap kondisi sosial bangsa kita," kata Bowo kepada Republika.co.id, Ahad (14/2).

Ia menjelaskan, tidak ada satu pun agama yang membenarkan LGBT di Indonesia. Kemudian, tidak ada sosial budaya Indonesia yang mengajarkan LGBT. Dengan begitu, menurutnya, jika dana UNDP tersebut dapat mengalir ke Indonesia, artinya pemerintahan Jokowi sangat lalai dan menyepelekan tentang budaya bangsa.

"Bagaimana hal yang peka, yang bisa membuat kegaduhan bangsa ini, itu dibiarkan oleh negara untuk diterima," ujar Bowo.

Seharusnya, ia mengatakan, jika memang pemerintah ingin menerima dana bantuan dari UNDP, harus dijelaskan persoalan yang lebih penting, seperti anak-anak telantar, persoalan perempuan, kesehatan, pendidikan, dan banyak lainnya.

"Pemerintahan Jokowi tak peka terhadap kondisi bangsa kita, ini kan kalau lebih peka, harusnya dilarang tahun 2015 karena dananya sejak 2014," katanya menjelaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement