Ahad 17 Jan 2016 11:02 WIB

Ini Pola Sandi dan Penyamaran Komunikasi Teroris

Red: Nur Aini
Petugas kepolisian melakukan pengamanan di area pos polisi yang diledakan oleh sejumlah teroris di kawasan Sarinah, Jakarta, Kamis (14/1).
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Petugas kepolisian melakukan pengamanan di area pos polisi yang diledakan oleh sejumlah teroris di kawasan Sarinah, Jakarta, Kamis (14/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku teror memanfaatkan sejumlah media untuk berkomunikasi. Pengamat terorisme Mujahidin Nur mengungkap sejumlah metode yang digunakan teroris untuk komunikasi antaranggota.

Pola komunikasi yang dianggap paling aman oleh jaringan itu, yakni dengan memanfaatkan pertemuan personal atau menggunakan perantara kurir apabila jaraknya relatif cukup jauh, misalnya antarprovinsi atau antarnegara.

Pola ini, kata dia, adalah pola paling aman dan kuno, tetapi masih digunakan sampai saat ini untuk menghindari "tracking" dan "tapping", seperti apabila menggunakan media berteknologi modern.

Sistem komunikasi yang juga banyak digunakan oleh kelompok penebar aksi teror adalah memakai sandi. "Akan tetapi, banyak kesempatan bahasa sandi ini mudah dibongkar dan diketahui oleh aparat, apalagi jika sandi dikirim melalui ponsel atau messenger," katanya.

Dalam beberapa waktu terakhir, kata dia, bahasa sandi banyak digunakan kembali dengan modifikasi, misalnya dengan cara meninggalkan pesan atau bahasa pada website, blog, Facebook, Twitter, dan media sosial yang lain. "Seakan bahasa itu untuk sendiri, padahal itu adalah perintah atau pesan untuk operator lapangan," katanya.

Selain itu, pola komunikasi yang juga mungkin digunakan, yakni dengan menggunakan bahasa terenkripsi. Ia mengatakan bahwa jaringan teroris yang sudah berafiliasi dengan Alqaidah atau ISIS, khususnya, sudah memakai alat ini sehingga untuk memecahkan pesannya, harus memiliki kemampuan untuk memecahkan pesan terenkripsi tersebut.

Mujahidin mencontohkan dalam kasus terorisme Paris beberapa waktu lalu, pihak ISIS menggunakan konsol game PlayStation 4 (PS4) untuk berkomunikasi, merencanakan serangan, dan merekrut anggota.

"Artinya, alat komunikasi rahasia di antara mereka itu sangat dinamis dan canggih," katanya.

Masyarakat sendiri, kata Mujahidin, bisa berperan pada level mempersempit gerakan teroris. "Yang menjadi masalah kesadaran masyaraat kita masih rendah untuk ini. Mereka juga belum terbiasa untuk membedakan mana ideologi teroris dan mana doktrin agama. Di sinilah peran para ulama dan tokoh agama untuk memberikan pemahaman yang baik terkait dengan keagamaan diperkuat," katanya.

Hal itu menjadi semakin sulit ketika jaringan teroris membaur di kalangan masyarakat dan menggunakan penyamaran melalui berbagai organisasi keagamaan atau yang bersifat kemanusiaan.

Oleh karena itu, Mujahidin menegaskan pentingnya fungsi intelijen di suatu negara yang harus benar-benar diperkuat. "Kuat dan tidaknya sebuah negara bergantung pada intelijennya. Artinya, fungsi lembaga itu sangat strategis dan diperlukan oleh negara," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement