Rabu 13 Jan 2016 14:29 WIB
Fenomena Gerakan Sempalan Keagamaan

Dari Imam Sampurno, Entong Gendut, Wong Kere, Hingga Gafatar

Rep: muhammad subarkah/ Red: Muhammad Subarkah
  Warga melihat tabloid Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) terbitan 2014 di Jombang, Jawa Timur, Rabu (13/1).
Foto:
Patroli polisi di Batavia.

Pascapemberontakan G-30-S/PKI 1965 di Desa Tugurejo, di Blitar Selatan, Jawa Timur, muncul seorang petani dengan sebutan ‘Embah Wali’ (lahir sekitar tahun 1935). Karier spiritualnya diklaim semenjak melakukan pengembaraan mengelilingi Jawa yang kemudian dilanjutkan dengan disiplin melakukan semedi atau bertapa ‘mati raga’. Pada 1940, Embah Wali dan istrinya sempat hidup nyaris telanjang.

Pada akhir revolusi, Embah Wali menyatakan agar warga desa menggelar pertunjukan wayang. Pertunjukan ini digelar hingga tahun 1954. Lakon wayang yang dibawakan selalu mengambil tema mengenai datangnya ‘Ratu Adil’, yang dia pahami sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Beberapa pekan sebelum peristiwa 30 September 1965, Embah Wali menggali sebuah lubang sampah yang sangat besar di desanya. Dan, pada malam peristiwa kudeta itu, dia meninggalkan rumah ke sebuah gubuk kecil di tengah sawah. Setelah peristiwa kudeta itu, para pengikutnya kemudian menafsirkan tingkah anehnya sebagai isyarat terjadinya pembunuhan dan pencarian perlindungan.

Setelah itu, Embah Wali sempat mengalami stroke dan lumpuh selama dua tahun. Dia baru sembuh pada 1970-an. Namun, hikmahnya karena dia sakit stroke dan lumpuh itulah, dia selamat dari tudingan pengikut komunis sebab Blitar adalah salah satu basis kekuatan komunis di Jawa. Tak lama kemudian, pada 1971, dia menjadi pengikut Golkar setelah sempat berkunjung ke Jakarta untuk bertemu Sri Sultan Hamengku Buwono yang saat itu adalah petinggi partai berlambang beringin.

Bagi pengikutnya, Embah Wali dianggap sebagai seorang nabi yang tengah berkarya mempersiapkan jalan bagi munculnya era keadilan baru dan mereka ingin menggabungkan diri di dalam karya besar ‘persiapan’ itu. Embah Wali menyampaikan ‘wejangannya’ melalui bahasa simbil, cerita wayang, tarian, dan selalu punya hubungan gaib dengan Nyai Roro Kidul (Ratu Kidul).

Uniknya, pada Oktober 1988, ketika idola Embah Wali, yakni Sri Sultan Hamengku Buwono IX wafat, dia menutup pintu rumahnya rapat-rapat dan tidak mau melalukan ritual apa pun untuk memperingati wafatnya Sultan. Dia kemudian mengumumkan bahwa ‘Ratu Adil’ kini telah pergi. Dan, berselang dua tahun kemudian, pada Mei 1990, Embah Wali sendiri pun mangkat.

 

Untuk beberapa waktu, ritual dan tarian-tariannya memang sempat berlanjut. Namun, lama-kelamaan tindakan itu pun menghilang seiring berkurangnya pengikut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement