Sekitar tahun 2000-an, di Klaten, Jawa Tengah, muncul kelompok yang menyebutnya sebagai kelompok "Wong Kere" (orang miskin). Untuk menyimbolkan penolakan mereka terhadap hal-hal yang umum, Wong Kere melakukan banyak hal secara berkebalikan. Misalnya, berjabat tangan memakai tangan kiri, mendaulat pemimpin yang berasal dari buruh tani biasa, memakai jam tangan yang jarum jamnya bergerak berkebalikan dengan gerak jarum jam pada umumnya.
Pengikut Wong Kere ini mengakui dan menghormati Tuhan serta keberadaan makhluk gaib lainnya, tetapi menolak berbagai praktik Islam. Tiap hari mereka melakukan doa kepada Tuhan, kemudian kepada bumi (sebab bumilah yang memberikan kehidupan), dan memberikan penghormatan kepada empat arah mata angin utama.
Mereka menganggap Pancasila sebagai pedoman spiritual serta menolak segala bentuk organisasi. Walaupun kelompok ini menyatakan tidak memiliki kitab tertulis, mereka menyimpan sebuah salinan kitab Dermagandul yang disalin dari terbitan Tan Koen Swie pada 1921.