Rabu 13 Jan 2016 14:29 WIB
Fenomena Gerakan Sempalan Keagamaan

Dari Imam Sampurno, Entong Gendut, Wong Kere, Hingga Gafatar

Rep: muhammad subarkah/ Red: Muhammad Subarkah
  Warga melihat tabloid Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) terbitan 2014 di Jombang, Jawa Timur, Rabu (13/1).
Foto: Antara/Syaiful Arif
Warga melihat tabloid Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) terbitan 2014 di Jombang, Jawa Timur, Rabu (13/1).

Dunia memang tak seindah syair lagu "Imagine" John Lenon: tidak ada perang, pembunuhan, penyakit, politik, dan berbagai hal mencemaskan lainnya. Dunia, meski telah diserukan oleh filsuf besar M Iqbal agar bisa diubah menjadi surga yang nyata serta dirasakan oleh manusia saat dia masih punya nyawa, memang nyatanya akan selalu penuh konflik.

Dulu mitologi Yunani punya cerita Sisyphus yang melambangkan kenestapaan manusia: kisah raksasa yang pekerjaannya secara terus-menerus mengangkut batu besar ke atas puncak piramda (gunung), tapi kemudian digelindingkan kembali ke bawah. Dan, dia kemudian mengangkutnya lagi ke atas, lalu digelindingkan lagi ke bawah, jelas melambangkan kenestapaan hidup di dunia yang kadang penuh kesia-siaan absurd.

Akibat ketidakjelasan dan ancaman ketakutan itulah, muncul berbagai macam persoalan. Salah satu di antaranya adalah munculnya gerakan sempalan keagamaan sebagai ekspresi dari berbagai macam ancaman itu, mulai dari penyebaran agama, perasaan tersingkirkan dalam sosial, budaya, ekonomi, hingga tak sesuainya harapan bahwa dunia ternyata tak seideal seperti carita novel atau komik.

Pada masa 1980-an, misalnya, di berbagai kota besar sempat muncul gerakan Childern of God. Saat itu, ramai sekali orang yang membicarakannya. Apalagi, kemudian dibumbui bermacam-macam kejanggalan dari gerakan dengan jargon ingin menyebarkan cinta kasih itu, mulai dari kumpul kebo, antilembaga pernikahan, sampai soal penerapan seks bebas.

Namun, bagaimana catatan sejarah akan kisah gerakan sempalan itu? Maka, dalam tulisan ini mencoba merunut beberapa contoh gerakan sempalan mulai dari zaman pra-Perang Diponegoro (awal 1800-an) hingga masa kini. Tentu saja, dipilih yang bernilai penting, meski kadang lucu, unik, dan berakhir tragis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement