Rabu 13 Jan 2016 14:29 WIB
Fenomena Gerakan Sempalan Keagamaan

Dari Imam Sampurno, Entong Gendut, Wong Kere, Hingga Gafatar

Rep: muhammad subarkah/ Red: Muhammad Subarkah
  Warga melihat tabloid Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) terbitan 2014 di Jombang, Jawa Timur, Rabu (13/1).
Foto:
Raja Pakubuwono berkunjung di Kampung Luar Batang di Batavia tahun 1920-an.

Sebagai imbas dari kebijakan politik Tanam Paksa, pada awal abad ke-20, Pemerintah Hindia Belanda mencapai puncak kemakmuran. Pejabatnya kaya raya. Negeri Belanda mampu membangun berbagai infrastruktur megah dan penting. Gambaran Amsterdam kumuh saat itu pun mulai menghilang karena Belanda kebanjiran devisa hasil merampok kekayaan bumi nusantara.

Namun, situai membanggakan itu tak terjadi pada penduduk bumi putera. Pemberian pendidikan kepada pribumi di era politik etis hanya balas budi lips service karena sekadar bertujuan mencetak pekerja. Pendidikan hanya diberikan kepada anak pejabat dan kerabat bangsawan. Rakyat biasa hidupnya tetap sengsara dan amburadul.

Dan, di Batavia yang saat itu dijuluki Venicia di Timur, warganya tak kebagian apa-apa. Mereka hidup tersuruk di kampung kumuh sembari terus dipaksa membayar pajak. Bila muncul perumahan mentereng, itu hanya diperuntukkan bagi ‘tuan putih’. Pribumi Betawi hanya bisa jadi kuli. Bagi perempuannya hanya bisa jadi babu atau gundik.

Nah, pada masa suram itu muncullah tokoh pemimpin rakyat asal Kampung Condet yang bernama Entong Gendut. Melalui gerakan tarikat atau zikir (sabilillah), dia menyerukan perlawanan terhadap para kompeni dan tuan-tuan tanah yang bermarkas di Kampung Gedang.

Pada masa penjajahan Belanda, rakyat Condet memang hidup dalam represi pihak tentara kompeni dan para tuan-tuan tanah yang bermarkas di Kampung Gedang. Bang Entong tak tahan ketika seluruh tanah rakyat di Condet dikuasai mereka. Selain itu, rakyat dicekik pajak (blasting) yang tinggi sebesar 25 sen per minggu. Pajak ini diberlakukan sewenang-wenang dan sangat besar karena jumlah berlipat lima dari harga beras per kilogram yang saat itu hanya mencapai empat sen. Dan bila tak bisa bayar, kebun dan sawah rakyat akan disita. Bahkan, bila sudah mendekati masa panen, rakyat yang dulu susah payah menanamnya tak boleh memetik hasilnya.

Maka, pada 5 April 1916, Entong Gendut sembari mengenakan ikat kepala putih menyerukan takbir, dia menyerbu rumah tuan tanah yang tinggal di Vila Nova di Landhuis (Jakarta Timur). Pada awal serbuan, pasukan Entong meraih kemenangan. Tapi, keadaan berubah ketika datang bantuan pasukan pemerintah kolonial. Entong kemudian tertembak mati.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement