Sabtu 09 Jan 2016 20:41 WIB

Kisruh Kepengurusan Partai tak Bisa Andalkan Putusan Pengadilan

Rep: Qommarria Rostanti / Red: Joko Sadewo
Romahurmuziy - Djan Faridz (kanan).
Foto: Antara
Romahurmuziy - Djan Faridz (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Baik Partai Golkar maupun PPP harus mengedepankan dialog dan musyawarah bersama untuk mengatasi kisruh kepengurusan dalam partainya. Penyelesaian konflik internal partai tidak bisa mengandalkan penyelesaian secara hukum.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengatakan penyelesaian yang tepat untuk mengakhiri sengketa politik adalah lewat negosiasi, lobi, dan dialog bersama. Jangan hanya mengandalkan putusan pengadilan. "Kalaupun menang di pengadilan tapi tidak mendapat kepercayaan yang luas dari internal, apa artinya," kata dia kepada republika.co.id, Sabtu (9/1).

Untuk kasus PPP, Ray menilai apa yang dilakukan Romahurmuziy (Romi) terkait muktamar Islah sebagai gagasan tepat. PPP kubu Romi mempunyai kekuatan yang secara politik sangat kuat. Sedangkan kubu Djan Faridz juga memiliki kekuatan dan tentunya legalitas yang tidak dimiliki Romi. Namun di dalam politik tidak cukup hanya dengan legalitas, melainkan perlu dukungan. Dia mencontohkan, Presiden RI ke-2 Soeharto diangkat secara legal tetapi karena tidak mendapat dukungan publik maka Soeharto 'jatuh' pada 1998.

PPP maupun Golkar harus belajar dari hal tersebut. Jika tetap merasa kubunya paling benar dan hanya berkutat di ranah hukum, maka kondisinya bisa terus chaos.

Kubu Romi telah menawarkan pelaksana muktamar Islah untuk menyelesaikan problem kepengurusan di PPP. Namun hingga kini, kubu Djan belum merespon ajakan tersebut. Menurut Ray, sekalipun kubu Djan mendapat legalitas formal namun kepengurusan terbelah sehingga secara politik tidaklah kuat. "Mungkin karena sudah memperoleh legalitas apalagi SK kubu Romi telah dicabut, Djan merasa posisinya kuat padahal itu saja tidak cukup," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement