REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Indonesia mengatakan, Indonesia perlu mengidentifikasi aturan yang perlu disesuaikan sebelum bergabung dengan perjanjian Kemitraan Trans-Pasifik (TPP).
Direktur Perjanjian Ekonomi, Sosial, dan Budaya Kementerian Luar Negeri, Abdulkadir Jailani mengatakan, TPP telah menetapkan aturan standar kewajiban yang tinggi.
‘’Sebelum Indonesia memutuskan bergabung, kita harus mampu mengidentifikasi peraturan perundangan mana yang perlu disesuaikan dan memenuhi standar TPP,’’ ujarnya saat diskusi mengenai partisipasi Indonesia di perjanjian perdagangan regional: TPP vs regional comprehensive economic partnership (RCEP), di gedung The Habibie Center, Jakarta, Kamis (17/12).
Namun, pihaknya tidak dapat menjawab kapan Indonesia bergabung dengan TPP. Yang jelas, kata dia, keputusan presiden ingin bergabung dengan TPP harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah.
Diantaranya berupa kajian-kajian. Ada banyak aspek dan bidang yang harus dibicarakan antarkementerian. Ia menyebutkan sebanyak 30 bidang atau chapter yang harus dipertimbangkan seperti perdagangan, pertanian, investasi, telekomunikasi, kesehatan, lingkungan hidup hingga hak atas kekayaan intelektual.
‘’Nah, kalau kita tidak siap dalam salah satu bidang tersebut tetapi tetap memutuskan ikut ya nantinya melanggar TPP,’’ ujarnya.
Dia menambahkan, ketika Indonesia memutuskan bergabung, ini merupakan bagian dari upaya nasional untuk menjadi bagian dari global value chains. Dimana tiap-tiap kerjasama atau hubungan memiliki keuntungan bagi Indonesia. Diantaranya Indonesia bisa mengekspor produknya ke luar negeri.
Artinya, ia menegaskan, TPP bukan bersifat positif atau negatif, melainkan netral karena harus ada penyesuaian. Dalam artian penyesuaian ini berkaitan dengan politik hukum Indonesia.