Selasa 25 Nov 2025 20:29 WIB

Pakar Vulkanologi Jelaskan Fenomena Efek Botol Soda Akibat Hujan Perkuat Erupsi Semeru

Mizam juga menyoroti ancaman di tikungan sungai yang sering luput dari perhatian.

Kondisi tiang penyulang listrik yang rusak terdampak erupsi Gunung Semeru di Desa Supiturang, Pronojiwo, Lumajang, Jawa Timur, Ahad (23/11/2025). Perusahaan Listrik Negara (PLN) Unit Layanan Pelanggan (ULP) Kabupaten Lumajang mencatat erupsi yang terjadi pada Rabu (19/11) tersebut merusak 133 gardu distribusi dan satu penyulang listrik sehingga menyebabkan jaringan listrik di 571 rumah terputus.
Foto: ANTARA FOTO/Irfan Sumanjaya
Kondisi tiang penyulang listrik yang rusak terdampak erupsi Gunung Semeru di Desa Supiturang, Pronojiwo, Lumajang, Jawa Timur, Ahad (23/11/2025). Perusahaan Listrik Negara (PLN) Unit Layanan Pelanggan (ULP) Kabupaten Lumajang mencatat erupsi yang terjadi pada Rabu (19/11) tersebut merusak 133 gardu distribusi dan satu penyulang listrik sehingga menyebabkan jaringan listrik di 571 rumah terputus.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pakar vulkanologi Institut Teknologi Bandung (ITB) Mirzam Abdurrachman mengungkapkan fenomena cuaca hujan yang mengguyur kawasan Jawa Timur saat ini, bukan sekadar menyebabkan banjir lahar dingin, melainkan juga memicu efek botol soda yang memperkuat erupsi Semeru. Menurut Mirzam di Bandung, Selasa (25/11/2025), hujan menjadi faktor eksternal yang memperkuat tekanan erupsi Gunung Semeru melalui mekanisme penggerusan tutup kawah.

Pasalnya, kata Mirzam, hujan memiliki peran ganda yang fatal dalam aktivitas vulkanik Semeru. Di mana selain memicu letusan freatik akibat air yang menyentuh zona panas, air hujan juga mencuci lapisan abu vulkanik di puncak yang selama ini berfungsi sebagai "katup" penahan tekanan magma.

Baca Juga

"Hujan mencuci lapisan abu penutup, membuat penahan tekanan dari bawah melemah. Ini bisa diibaratkan seperti botol minuman bersoda yang sudah diguncang, kemudian tutupnya dibuka tiba-tiba, maka isinya akan menyembur keluar dengan kuat," ujar Mirzam.

Dosen Kelompok Keahlian Petrologi, Volkanologi, dan Geokimia ITB itu menegaskan bahwa fenomena hilangnya beban penutup kawah akibat gerusan air hujan ini, jauh lebih sulit diprediksi dibandingkan letusan reguler yang mengikuti siklus pengisian dapur magma.

Selain mekanisme tekanan "botol soda", Mirzam yang juga menjabat Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) menyoroti ancaman spesifik di tikungan sungai yang sering luput dari perhatian masyarakat.

Menurut dia, bahaya sekunder berupa aliran lahar tidak hanya bergantung pada volume curah hujan, tetapi juga geometri sungai. Aliran lahar yang memiliki viskositas atau kekentalan tinggi memiliki keterbatasan gerak saat melewati topografi sungai yang berkelok.

"Lahar yang kental tidak bisa bermanuver saat menghadapi tikungan atau belokan sungai secara tiba-tiba. Akibatnya, area kelokan sungai menjadi lokasi dengan potensi luapan terbesar yang harus dihindari warga," ujarnya.

Terkait peningkatan status aktivitas Semeru, Mirzam menyebutkan hal tersebut didasarkan pada parameter terukur seperti intensitas gempa vulkanik, perubahan komposisi gas, kenaikan temperatur, dan deformasi tubuh gunung.

Sebagai langkah mitigasi taktis bagi warga yang masih harus beraktivitas di radius aman namun terdampak abu, ia menyarankan penggunaan masker basah alih-alih masker kering.

"Masker yang dibasahi memiliki daya rekat dan daya hisap yang lebih tinggi terhadap partikel abu vulkanik, sehingga lebih efektif melindungi sistem pernapasan," tutur Mirzam.

 

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement