REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah organisasi masyarakat sipil mengkritisi niat Presiden Joko Widodo untuk bergabung dengan pakta perdagangan bebas Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership-TPP) yang saat ini baru beranggotakan 12 negara dari kawasan Amerika Utara dan Asia.
"Rincian dari kesepakatan ini masih dirahasiakan oleh pemerintahan anggota TPP. Oleh karena itu kita belum bisa mengetahui dengan pasti apakah pakta tersebut akan menguntungkan atau merugikan. Dengan demikian akan lebih baik bagi Indonesia untuk tidak bergabung," kata peneliti dari lembaga Third World Network, Luthfiyah Hanim, dalam diskusi publik di Jakarta, Senin (2/11).
TPP sendiri adalah kerja sama ekonomi yang disepakati pada 5 Oktober lalu oleh sejumlah negara Asia dengan Amerika Utara, dengan kontribusi 40 persen ekonomi global, dengan tujuan menghilangkan hambatan-hambatan pergerakan barang dan jasa.
Majalah The Economist pada bulan lalu menuliskan bahwa fokus dari kesepakatan TPP bukan merupakan penghilangan tarif perdagangan yang memang sudah sangat rendah, melainkan harmonisasi regulasi yang berbeda di antara berbagai negara yang seringkali menghambat pergerakan barang dan jasa.
"Para utusan negara anggota memimpikan sebuah dunia di mana sektor farmasi diatur oleh regulasi yang sama. Mereka menginginkan standardisasi dalam segala hal dari desain mobil sampai labelisasi obat-obatan, termasuk mengenai aturan persentase komponen lokal (terutama dalam industri otomotif)," tulis The Economist pada 6 Oktober lalu untuk menggambarkan bagaimana fokus TPP dalam mengharmonisasikan undang-undang bagi anggotanya.
Dalam kesepakatan TPP, aturan-aturan mengenai berbagai hal dari standar kelayakan lingkungan, pertanian, obat-obatan, industri manufaktur dan jasa, sampai hak-hak pekerja akan disamakan sehingga tidak ada lagi hambatan non-tarif yang hanya menguntungkan salah satu pihak.